REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengusulkan Jenderal TNI Andika Perkasa sebagai calon tunggal Panglima TNI. Pascakeluarnya surat presiden (Surpres), pro dan kontra pun bermunculan, salah satunya dari Koalisi Masyarakat Sipil yang mengkritisi penunjukan Jenderal Andika Perkasa sebagai calon Panglima TNI.
Surpres terkait pengganti Panglima TNI diterima oleh DPR RI para Rabu (31/11) kemarin. Ketua DPR Puan Maharani mengatakan, DPR akan menindaklanjuti Surat Presiden mengenai usulan calon Panglima TNI tersebut melalui rapat pimpinan untuk kemudian dilakukan rapat paripurna. Sementara fit and proper test akan dilakukan Komisi I DPR RI.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai langkah Presiden RI Joko Widodo yang mengusulkan Jenderal Andika Perkasa sebagai calon Panglima TNI mengandung tiga permasalahan serius. Salah satunya Presiden telah mengesampingkan pola rotasi matra yang berlaku di era reformasi dalam regenerasi Panglima TNI.
Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Hussein Ahmad, menilai usulan KSAD Andika sebagai Panglima TNI keliru karena mengabaikan pola kebijakan berbasis pendekatan rotasi. Jika merujuk Pasal 13 ayat (4) UU TNI, maka Panglima TNI dijabat bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.
Hussein memandang penerapan pola rotasi akan menumbuhkan rasa kesetaraan antar-matra, kesimbangan orientasi pembangunan postur TNI, serta kesempatan yang sama bagi perwira tinggi TNI, tanpa membedakan asal matra. Hal ini juga dapat membawa dampak positif berupa penguatan soliditas internal TNI.
"Pola rotasi penting dilakukan guna meredam kecemburuan yang sangat mungkin terjadi di antara prajurit akibat adanya kesan bahwa Presiden RI menganak-emaskan satu matra dalam tubuh TNI, seperti di masa Orde Baru," kata Hussein dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Kamis (4/11).
Hussein mengingatkan rotasi jabatan Panglima TNI yang dimulai sejak awal Reformasi perlu dipertahankan. Apalagi hal tersebut juga telah diamanatkan dalam UU TNI. Jenderal Andika diketahui merupakan menantu mantan Kepala BIN Jenderal Purn Hendropriyono.
"Seharusnya Presiden RI Joko Widodo tidak mengabaikan pola pergantian Panglima TNI berbasis rotasi matra. Mengabaikan pendekatan ini dapat memunculkan tanda tanya besar apakah Presiden RI lebih mengutamakan faktor politik kedekatan hubungan yang subyektif daripada memakai pendekatan profesional dan substantif," singgung Hussein.
Sementara Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid, selain mengesampingkan pola rotasi matra yang berlaku di era reformasi dalam regenerasi Panglima TNI, menurutnya Presiden RI telah mengajukan nama yang rekam jejaknya masih perlu pengujian oleh lembaga negara yang independen di bidang hukum, HAM, dan pemberantasan korupsi. Dalam hal ini, Komnas HAM dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Usman mengatakan, Presiden RI harus betul-betul memastikan calon Panglima TNI yang diusulkannya tidak memiliki catatan buruk khususnya terkait pelanggaran HAM. Adanya pemberitaan yang mengaitkan nama Andika Perkasa dalam kasus pembunuhan tokoh Papua Theys Hiyo Eluay harus ditanggapi secara serius.
"Sudah seharusnya Presiden RI melakukan penggalian informasi secara komprehensif terhadap seluruh kandidat dengan melibatkan lembaga-lembaga kredibel guna memperkuat pertimbangan Presiden RI dalam mengambil keputusan yang tepat," ujarnya.
Dengan diajukannya Jenderal Andika Perkasa sebagai calon tunggal Panglima TNI, menunjukkan kalau Presiden RI tidak memiliki komitmen terhadap Penegakan HAM secara serius sebagaimana komitmen politiknya.