REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Rr Laeny Sulistyawati, Dian Fath Risalah
JAKARTA -- Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan, pemerintah telah mengidentifikasi 22 turunan varian Delta ditemukan di Indonesia hingga Kamis (4/11). Di antara turunan mutasi Covid-19 jenis itu di antaranya AY.1, AY.11, dan AY.16.
"Dari B1617 yang dulu kita kenal sebagai varian Delta itu sudah ada turunannya sebanyak 22 yang sudah kami identifikasi di Indonesia," ujarnya saat mengisi diskusi virtual yang disiarkan melalui FMB9, Kamis (4/11).
Data Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan per 16 Oktober 2021, ada sebanyak 4.025 kasus varian Delta di Indonesia. DKI Jakarta mencatat kasus varian Delta terbanyak mencapai 1.300, kemudian disusul Jawa Barat 700, dan Jawa Tengah 300.
"Ini yang jadi kewaspadaan kita. Jangan membiarkan si varian Delta berkembang lagi lebih lanjut," katanya.
Di kesempatan yang sama, Ketua Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane menambahkan, telah ditemukan banyak sekali varian Delta plus di Tanah Air. Selain AY.1, AY.11, AY.16, ada juga varian AY.4, dan AY.24. Namun, AY.4.2 yang memicu lonjakan kasus Covid-19 di Inggris belum teridentifikasi di Indonesia hingga saat ini.
"Sementara ini (AY.4.2) belum ditemukan di Indonesia. Tentu kami berharap tidak masuk ke Indonesia," ujarnya.
"Bahkan kalau dalam masa inkubasi virus awal (membutuhkan) 2 sampai 14 hari kemudian baru terinfeksi, varian ini (Delta plus) pun sudah menularkan," ujarnya. Artinya, dia melanjutkan, varian Delta Plus tak hanya menularkan virus lebih cepat melainkan juga lebih banyak.
Masdalina menjelaskan, proses mutasi pada virus sudah berlangsung cukup lama, yang harus diperhatikan adalah bagaimana varian baru tidak tersebar antarnegara. Mutasi, dikatakannya, adalah proses adaptasi virus ketika masuk ke tubuh inang dan akan terus dilakukan sampai menuju kestabilan, melemah, atau bermutasi kembali.
“Jadi yang paling harus diwaspadai adalah masuknya varian-varian pertama,” ujar Masdalina.
Ia mengambil contoh varian Delta yang memiliki tingkat penularan dan penyebaran lebih tinggi daripada varian lainnya, di mana 1 kasus dapat menularkan pada 6-8 orang. Di banyak negara, kasus varian Delta turun sendiri atau disertai intervensi masing-masing negara, setelah 8-14 pekan. Virus tersebut tidak hilang, melainkan melemah atau bermutasi lagi.
“Yang penting virus tersebut tidak menyebabkan kematian atau kesakitan yang tinggi,” tuturnya.
Karena munculnya virus baru sebagai akibat mutasi adalah sesuatu yang alami, maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mencegah varian baru virus tersebar antarnegara. Masdalina menyebutkan, selain pengetatan pintu masuk, upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah memperbanyak sequencing pada pelaku perjalanan terutama yang berasal dari negara-negara yang terinfeksi berat.
Terkait herd immunity, Masdalina mengatakan, kekebalan kelompok di tiap wilayah Indonesia bervariasi, dengan capaian yang baik di Jawa-Bali meski harus tetap ditingkatkan hingga mencapai 70 persen di akhir tahun. Kekebalan kelompok ini, menurutnya, bisa didapatkan tidak hanya melalui vaksinasi melainkan juga infeksi secara natural.
“Kita tidak boleh fokus hanya pada herd immunity karena meski sudah tinggi dan vaksinasi sudah baik, tapi masih memungkinkan terinfeksi,” tambahnya.
Setelah 20 bulan hidup bersama Covid-19, kata Masdalina, masyarakat sudah cukup memiliki pengetahuan tentang Covid-19 dan mematuhi aturan yang berlaku. Misalnya, ketika kasus tinggi dan pemerintah memberlakukan PPKM. Ia memandang wajar bila tingkat kepatuhan masyarakat naik turun.
“Fungsi kita bersama untuk saling mengingatkan masyarakat akan protokol kesehatan, tidak bisa selalu mengharapkan petugas baik di lapangan maupun di rumah sakit,” ujar Masdalina.