REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting, mengatakan, proses uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) terhadap calon Panglima TNI di Komisi I DPR, sebaiknya dihapuskan saja.
"Uji kepatutan dan kelayakan nyatanya lebih sebagai gimmick (upaya mencari perhatian) politik yang menampilkan kegenitan anggota parlemen dalam proses penentuan calon Panglima TNI," kata Ginting saat dikonfirmasi Republika di Jakarta, Jumat (5/11).
Dia pun menyoroti rencana fit and propers test terhadap calon Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa di DPR pada Sabtu (6/11). Seperti diketahui surat presiden (supres) kepada DPR dalam penentuan calon panglima TNI sudah disampaikan pada Rabu (3/11). DPR pun segera melakukan uji kepatutan dan kelayakan.
Baca: Letjen Dudung: Lebih Baik Mandi Keringat daripada Darah
Menurut Ginting, penentuan siapa yang menjadi Panglima TNI merupakan hak prerogratif presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU), jika merujuk konstitusi. Sehingga, pemilihan Panglima TNI, termasuk Kapolri sebaiknya tidak lagi direcoki oleh DPR.
Sistem politik Indonesia, sambung dia, menganut sistem presidensil bukan sistem parlemen. Dengan demikian, menurut Ginting, Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, khususnya Pasal 13 ayat 2, mesti diubah. Pasal dan ayat ini seperti ritual politik dalam pergantian Panglima TNI. Ayat (2) berbunyi: "Panglima TNI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan DPR".
Terhadap ayat (2) penjelasannya, "Yang dimaksud dengan persetujuan DPR, adalah pendapat berdasarkan alasan dan pertimbangan yang kuat tentang aspek moral dan kepribadian, berdasarkan rekam jejak".
Ginting menyebut, antara kehendak pada penjelasan dengan praktiknya, tidak sejalan. DPR justru tidak menjalankan apa yang tertuang dalam penjelasan ayat (2) tersebut. DPR justru berpotensi melampaui dan menyimpang dari semangat dan substansi penjelasan ayat (2) tersebut.
"Itulah yang saya bilang, fit and proper test seperti gimmick politik saja. Kegenitan parlemen di depan layar televisi, namun dengan mutu pertanyaan-pertanyaan yang tidak substansial. Bahkan kadang tidak bermutu, karena tidak memahami organisasi militer," ujar kandidat doktor ilmu politik tersebut.
Ginting memberikan contoh ketika fit and proper test terhadap calon Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto pada 2006. Calon Panglima TNI pertama dari matra AU tersebut harus menjalani uji kepatutan dan kelayakannya sampai memakan waktu 13 jam.
"Mungkin inilah uji kepatutan dan kelayakan terlama di dunia. Bisa didaftarkan dalam buku rekor dunia. Menjadi panggung DPR untuk ngerjai orang yang bukan pilihan partainya," kata Ginting menyindir ulang legislator.
Baca: Komisi I DPR Gelar Uji Kelayakan Panglima TNI pada Sabtu
Jadi, kata dia, uji kepatutan dan kelayakan di DPR justru bisa menggiring TNI kembali dirayu masuk dalam ranah politik praktis. Akibatnya, Ginting menambahkan, bisa menimbulkan birahi politik bagi personel TNI untuk melakukan politik praktis dengan melobi partai-partai politik di parlemen.
Kondisi tersebut, berpotensi mengembalikan TNI kembali ke titik nadir, seperti sebelum terjadinya reformasi 1998-1999. Pasalnya, politikus sipil berpotensi menarik kembali para calon Panglima TNI memasuki dunia politik. Di situlah akan terjadi politik dagang sapi untuk mendapatkan keuntungan.
"Nanti kalau kamu terpilih jadi Panglima TNI, saya titip program ini, orang itu, serta kepentingan-kepentingan politik lainnya. Kira-kira begitu pesan-pesan titipannya. Apalagi, calon Panglima TNI juga manusia biasa yang bisa tergoda rayuan politik," ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas tersebut.
Atas dasar itulah, Ginting mengusulkan agar UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI terutama ayat yang menghadirkan peran DPR dihapuskan. Sehingga cukup bunyi Pasal 13 ayat (2) Presiden mengangkat/memberhentikan Panglima TNI. Tidak perlu lagi ada embel-embel "meminta persetujuan DPR".
Mengapa perlu diakhiri? Menurut Ginting, setidaknya ada tiga alasan penting. Pertama, mekanisme fit and proper test terhadap calon Panglima TNI, sesungguhnya tidak ada landasan hukum/aturan yang jelas. Kedua, mekanisme yang dipaksakan itu justru bertolak belakang dengan semangat dan substansi penjelasan pasal 13, ayat (2) UU Nomor 34 Tahun 2004.
Ketiga, tes tersebut kurang substantif. Hanya basa-basi politik saja. "Jadi setop, dan sudahi saja uji kepatutan dan kelayakan calon panglima TNI di DPR," kata Ginting.
Baca: Pratikno dan Lika-liku Andika Menjadi Panglima TNI
Dari ketiga alasan itu, menurut Ginting, memiliki risiko bagi organisasi TNI. Risikonya, dapat membelah jalur komando serta loyalitas tegak lurus TNI kepada Presiden sebagai kepala negara. Dengan memaksa tes di DPR, bisa terjadi loyalitas ganda kepada parlemen.
"Seseorang yang sudah bintang empat, memang layak dicalonkan menjdi pimpinan TNI. Itu saja patokannya. Jangan lagi anggota DPR yang tidak mengerti apa-apa, tapi sok tahu menguji permasalahan yang dia juga tidak paham," ucap wartawan senior tersebut.
Adapun jadwal fit and propers test diundur satu hari, dari semula direncanakan pada Jumat, menjadi pada Sabtu. Anggota Komisi I DPR, Bobby Adhityo Rizal mengatakan, uji kelayakan dan kepatutan calon Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dilaksanakan pada Sabtu pukul 10.00 WIB.
"Hasil keputusan Komisi I DPR adalah kami akan mengadakan uji kelayakan calon Panglima TNI pada Sabtu," kata politikus Partai Golkar itu di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (4/11).
Dia mengatakan, alasan Komisi I DPR memilih waktu uji kelayakan calon Panglima TNI pada Sabtu, adalah karena masih menunggu surat administrasi penugasan dari Badan Musyawarah (Bamus) DPRD untuk Komisi I DPR. Menurut Bobby, diharapkan ketika uji kelayakan dilaksanakan maka dipastikan proses penugasan dari Bamus sudah diterima lalu proses verifikasi dokumen sudah selesai semua.
Baca juga : Kasasi Jaksa Ditolak MA, Syahganda Nainggolan Bebas
"Kami menunggu administrasi penugasan dari Bamus untuk Komisi I DPR untuk uji kelayakan. Karena kalau misalnya sudah dijadwalkan namun surat penugasan dari Bamus belum ada, nanti anggota Komisi I menunggu," ujar Bobby.