Jumat 05 Nov 2021 13:19 WIB

Panglima Militer Sudan Perintahkan Pembebasan Empat Menteri

Kudeta militer merupakan kemunduran bagi Sudan menuju demokrasi

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Christiyaningsih
Pemimpin dewan transisi Sudan, Letnan Jenderal Abdel Fattah Abdelrahman Burhan terlihat setelah dilantik sebagai Ketua Dewan transisi yang baru dibentuk di istana presiden di Khartoum, Sudan, 21 Agustus 2019 (diterbitkan kembali 25 Oktober 2021).
Foto: EPA-EFE/STRINGER
Pemimpin dewan transisi Sudan, Letnan Jenderal Abdel Fattah Abdelrahman Burhan terlihat setelah dilantik sebagai Ketua Dewan transisi yang baru dibentuk di istana presiden di Khartoum, Sudan, 21 Agustus 2019 (diterbitkan kembali 25 Oktober 2021).

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Panglima militer Sudan Abdel Fattah al-Burhan telah memerintahkan pembebasan empat menteri sipil yang ditahan sejak kudeta militer pekan lalu. Sudan TV pada Kamis (4/11) mengidentifikasi empat menteri yang dibebaskan yaitu Menteri Telekomunikasi Hashem Hassab Alrasoul, Menteri Perdagangan Ali Geddo, Menteri Informasi Hamza Baloul, serta Menteri Pemuda dan Olahraga Youssef Adam.

Pengumuman pembebasan itu terjadi saat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengoordinasikan upaya untuk menemukan jalan keluar dari krisis politik Sudan setelah kudeta pada 25 Oktober lalu. Dalam kudeta tersebut, militer menangkap dan menahan politisi sipil terkemuka. Sementara Perdana Menteri Abdalla Hamdok ditempatkan di bawah tahanan rumah.

Baca Juga

Pembebasan empat menteri terjadi sehari setelah Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA), yang memiliki hubungan dekat dengan militer yang berkuasa di Sudan, meninjau kembali sikap mereka terhadap kudeta militer. Saudi dan UEA menyerukan agar militer mengembalikan kekuasaan di bawah pemerintahan sipil.

Anggota lembaga think tank Insight Strategy Partner, Kholood Khair, mengatakan langkah Arab Saudi dan UEA telah memicu keputusan al-Burhan untuk membebaskan empat menteri. Saudi dan UEA telah mempertimbangkan kembali sikap mereka terhadap militer Sudan dan terlibat dalam pembebasan empat tahanan tersebut.

"Para pemimpin kudeta sekarang harus berurusan dengan realitas politik baru," ujar Khair dilansir Aljazirah, Jumat (5/11).

Kudeta militer merupakan kemunduran bagi Sudan menuju demokrasi. Militer dan pemerintahan sipil telah membagi kekuasaan sejak penguasa Omar al-Bashir digulingkan dua tahun lalu.

Kudeta militer di Sudan memicu kecaman internasional. Bank Dunia dan Amerika Serikat (AS) telah membekukan bantuan pendanaan. Hal ini menjadi pukulan besar bagi Sudan yang sudah terperosok dalam krisis ekonomi. Militer Sudan juga menghadapi tekanan dari Uni Afrika yang menangguhkan negara itu dari kegiatannya sampai pemulihan otoritas transisi yang dipimpin pemerintahan sipil.

Para pengunjuk rasa pro-demokrasi telah menggelar demonstrasi besar-besaran mengecam kudeta yang menggagalkan transisi negara menuju pemerintahan sipil. Utusan khusus PBB untuk Sudan mengatakan pembicaraan telah menghasilkan garis besar kesepakatan potensial untuk kembali ke pembagian kekuasaan, termasuk memulihkan kembali pemerintahan Hamdok.

Pekan lalu, al-Burhan menyebut dia ingin membentuk pemerintahan teknokrat baru dan Hamdok bisa kembali menjadi pemimpin. Namun kantor Hamdok membantah laporan bahwa Hamdok telah setuju untuk memimpin pemerintahan baru. Hamdok bersikeras agar para tahanan dibebaskan dan pemerintahan kembali dipulihkan sebelum melakukan dialog.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement