Jumat 05 Nov 2021 17:33 WIB

Iran: Kami tak akan Terima Tuntutan Berlebihan Barat

Pembicaraan nuklir Iran akan dilanjutkan kembali akhir bulan ini.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden Iran Ebrahim Raisi.
Foto: AP/Vahid Salemi
Presiden Iran Ebrahim Raisi.

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Presiden Iran Ebrahim Raisi tak akan menerima tuntutan berlebihan dari negara Barat dalam pembicaraan pemulihan kesepakatan nuklir yang bakal dilanjutkan akhir bulan ini. Pembicaraan itu telah ditunda selama lima bulan karena Iran menggelar pemilu presiden Juni lalu.

“Kami tidak akan meninggalkan meja perundingan, tapi kami juga akan menentang tuntutan berlebihan yang pada akhirnya akan merugikan kepentingan rakyat Iran,” kata Raisi pada Kamis (4/11).

Baca Juga

Dia menegaskan, pemerintahannya tidak akan mundur dengan cara apa pun jika menyangkut kepentingan rakyat Iran. “Tapi kami akan melanjutkan upaya untuk menetralisir sanksi yang menindas dan mengambil tindakan untuk mencabutnya,” ujarnya.

Iran dan Amerika Serikat (AS) telah sepakat melanjutkan kembali pembicaraan pemulihan kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 29 November mendatang.

“Dalam panggilan telepon dengan (utusan Uni Eropa pembicaraan nuklir) Enrique Mora, kami sepakat memulai negosiasi yang bertujuan untuk menghapus sanksi yang melanggar hukum dan tidak manusiawi pada 29 November di Wina,” kata perunding nuklir terkemuka Iran Ali Bagheri-Kani lewat akun Twitter pribadinya pada Rabu (3/11).

Mora bersama kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell akan memimpin pertemuan tersebut. “Para peserta akan melanjutkan diskusi tentang prospek kemungkinan kembalinya AS ke JCPOA dan bagaimana memastikan implementasi penuh serta efektif dari perjanjian oleh semua pihak,” kata Uni Eropa dalam sebuah pernyataan.

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengungkapkan, negaranya yakin pembicaraan itu bisa diselesaikan dengan cepat jika Iran serius. “Kami percaya bahwa jika Iran serius, kita dapat melakukannya dalam waktu yang relatif singkat,” ucapnya dalam pengarahan media.

JCPOA disepakati pada 2015 antara Iran dan negara kekuatan dunia, yakni AS, Prancis, Inggris, Jerman, Rusia, serta Cina. Kesepakatan itu mengatur tentang pembatasan aktivitas atau program nuklir Iran. Sebagai imbalannya, sanksi asing, termasuk embargo terhadap Teheran, dicabut.

Namun JCPOA retak dan terancam bubar setelah mantan presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan tersebut pada November 2018. Trump berpandangan JCPOA "cacat" karena tak turut mengatur tentang program rudal balistik dan peran Iran di kawasan. Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran. Sejak saat itu Iran tak mematuhi ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam JCPOA, termasuk perihal pengayaan uranium.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement