REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Nasaruddin Umar Office (NUO) menyelenggarakan Book Launching dan Doa untuk Bangsa di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Jumat (5/11) malam.
Kegiatan ini dimaksudkan sebagai doa dan upaya mendokumentasikan secara utuh segenap karya dan pemikiran Prof KH Nasaruddin Umar.
Pada kegiatan ini juga diluncurkan 12 buku yang ditulis Imam Besar Masjid Istiqlal dalam kurun waktu satu tahun. Sekaligus penganugerahan Museum Rekor Indonesia (Muri) kepada Kiai Nasaruddin sebagai penulis kolom terbanyak secara berkesinambungan di Indonesia bahkan dunia.
Kiai Nasaruddin mengatakan, ada 12 buku yang akan diluncurkan tapi yang tercetak oleh percetakan baru enam buku. Buku-buku yang diterbitkan tahun ini lebih feminim, kalau tahun lalu buku-bukunya bersifat lebih umum. Ada buku politik, antropologi, sosiologi dan lain-lain.
"Tapi tahun ini sengaja meluncurkan buku-buku yang sifatnya sufistik spiritual," kata Kiai Nasaruddin saat diwawancarai Republika usai Book Launching dan Do'a Untuk Bangsa pada Jumat (5/11) malam.
Pertimbangannya menulis buku bersifat sufistik, karena sekarang tahun-tahun menjelang pemilihan umum (pemilu). Maka diperlukan bacaan-bacaan yang menyejukan, untuk menyejukan warga bangsa. Maka diperlukan sentuhan-sentuhan sufistik dan spiritual.
Menurut Direktur NUO ini, sudah banyak buku yang berbicara tentang pergumulan dan bersifat maskulin. Maka diperlukan penyeimbang yaitu buku-buku yang bersifat feminim.
"Maka tema kita tahun ini menerbitkan buku yang sifatnya lebih mencerahkan, lebih spiritual sufistik, diharapkan dengan demikian ada keseimbangan antara konsumsi otak dan batin," ujar Imam Besar Masjid Istiqlal ini.
Kiai Nasaruddin menambahkan, jangan semuanya berbicara tentang persoalan maskulin, politik dan kekinian. Tapi masing-masing individu juga harus mendemo dirinya sendiri. Tanyakan kepada diri sendiri, siapa diri ini dan mau ke mana.
"Sehingga menjadi penyadaran bagi warga bangsa bahwa hidup ini ada batasnya, ada kehidupan setelah mati, ini perlu kita ingatkan. Dengan kesadaran sufistik seperti ini maka kita berpolitiknya santun, ber ekonominya juga luhur, masuk ke wilayah bisnis juga beretika, jadi etika dan kesantunan sangat penting, itu ciri khas bangsa kita, itulah Pancasila," jelasnya.
Kiai Nasaruddin berharap ke depannya, konsumsi spiritual seperti buku-buku bersifat sufistik ini tidak boleh hilang dalam dunia intelektualitas di Indonesia.
Dia menceritakan, di antara 12 buku yang ditulisnya dalam waktu satu tahun ini, ada buku tentang fungsi masjid di zaman Nabi Muhammad SAW. Buku ini ditulis berdasarkan hasil penelitian dari beberapa buku, hadits dan sejarah.
"Kami temukan dalam penelitian kami itu ada 26 fungsi masjid pada masa Nabi, (data) ini hak paten kami, hasil penelitian kami," kata Kiai Nasaruddin.
Kiai Nasaruddin menyampaikan, baginya menulis adalah sebuah kewajiban dan sudah menjadi kebiasaan. Setiap hari minimal menulis 12 halaman untuk buku dan artikel yang dipublikasikan di berbagai media massa.
Sampai sekarang telah menulis 64 buku. Ada buku yang tebal dan ada buku yang kecil tapi tidak kurang dari 150 halaman meski kecil. "Rata-rata buku saya, 200 sampai 300 halaman," ujarnya.