Pengamat: Presidential Threshold Tinggi Sulitkan Presiden

Red: Elba Damhuri

Pilpres menjadi pesta demokrasi
Pilpres menjadi pesta demokrasi | Foto: EPA

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kritik atas pemberlakuan presidential threshold (PT) sebesar 20 persen dalam Pilpres terus bermunculan. Kali ini datang dari peneliti senior Populi Center, Usep S Ahyar.

Usep mengkritisi pemberlakuan PT 20 persen yang berdampak pada presiden yang terpilih hasil Pilpres seolah bisa disetir parpol pendukungnya.

Usep menilai pemberlakuan PT sebenarnya tidak memperkuat sistem presidensial secara keseluruhan. Menurut dia, presiden hanya terlihat kuat di atas panggung berkat dukungan parpol di parlemen.

"Jadi, kehadiran presidential threshold tak memperkuat sistem presidensial seperti yang diharapkan," kata Usep, pekan ini.

Usep menyayangkan pemberlakuan PT yang begitu tinggi membuat capres mau tak mau bergantung pada parpol. Sebab bila tidak, sang Capres bahkan tak akan diusung di Pilpres. Bahkan setelah Capres terpilih menurut Usep masih ada politik balas budi.

"Parpol terus campur tangan ke Presiden. Makanya ada istilah Presiden itu petugas partai padahal sistemnya Presidential," ujar Usep.

Usep menganalisis fenomena ini masih akan berlangsung usai Pilpres 2024 karena pemberlakuan PT tak kunjung dihapus atau diturunkan. Ia menduga kekuasaan Presiden bisa melemah bila dihadapkan kepentingan parpol pengusungnya.

"Mungkin Presiden kuat didukung dan dijaga parpol selama sesuai dengan kepentingan parpol, tapi parlemen harus ikut campur terus karena dia dicalonkan parpol," ucap Usep.

Presidential threshold adalah ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden. Pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 20% suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif.

Sebelumnya, Ketua DPD AA La Nyalla Mahmud Mattalitti menilai, ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen turut menjadi penyebab maraknya konflik horizontal. Hal itu juga menyebabkan polarisasi di masyarakat.

"Aturan ambang batas membuat pasangan calon yang dihasilkan terbatas. Dari dua kali pemilihan presiden, hanya menghasilkan dua pasang calon. Sehingga dampaknya terjadi polarisasi masyarakat yang cukup tajam,” ujar La Nyalla lewat keterangan tertulisnya, Ahad (31/10).

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini

Terkait


Pengamat: PT Buat Presiden Jadi 'Petugas Parpol'

Relawan Klaim Dukungan untuk Ganjar Murni dari Bawah

Diprediksi Hadapi PDIP-Gerindra, Golkar: Politik Dinamis

Dasco: Gerindra Masih Fokus Konsolidasi Internal Partai

Relawan Deklarasikan Dukung Prabowo-Puan di 2024

Republika Digital Ecosystem

Kontak Info

Republika Perwakilan DIY, Jawa Tengah & Jawa Timur. Jalan Perahu nomor 4 Kotabaru, Yogyakarta

Phone: +6274566028 (redaksi), +6274544972 (iklan & sirkulasi) , +6274541582 (fax),+628133426333 (layanan pelanggan)

[email protected]

Ikuti

× Image
Light Dark