Ahad 07 Nov 2021 00:20 WIB

Apa yang Terjadi Ketika Tubuh Resisten Antibiotik?

Laju resistensi antimikroba harus ditekan, termasuk dengan bijak konsumsi antibiotik.

Rep: Santi Sopia/ Red: Reiny Dwinanda
Obat antibiotik (Ilustrasi). Untuk mencegah resistensi antimikroba, antibiotik harus digunakan dengan bijak dan tepat guna.
Foto: www.freepik.com.
Obat antibiotik (Ilustrasi). Untuk mencegah resistensi antimikroba, antibiotik harus digunakan dengan bijak dan tepat guna.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perbaikan kebijakan peresepan, praktik penjualan, dan konsumsi antibiotik yang bijak dan rasional semakin dibutuhkan di Indonesia. Terlebih, penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan rekomendasi dokter kian banyak hingga menjadi salah satu penyumbang terbesar angka resistensi antimikroba.

Resistensi antimikroba--mulai dari antibiotik (obat untuk membunuh bakteri), antivirus, antiparasit, dan antijamur--menjadi salah satu dari 10 ancaman kesehatan global yang paling berbahaya di dunia. Berdasarkan data WHO, penggunaan antibiotik meningkat 91 persen secara global dan meningkat 165 persen di negara-negara berkembang pada periode 2000-2015.

Baca Juga

Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) RI Periode 2014-2021 Dr dr Harry Parathon SpOG(K) mengatakan, resistensi terjadi ketika bakteri dalam tubuh sudah tidak mempan lagi dimatikan antibiotik. Resistensi membuat mekanisme tubuh menolak antibiotik sehingga penyakit lebih sulit disembuhkan.

"Teori yang paling populer, bakteri resisten senang kawin dengan bakteri yang belum resisten," kata Harry dalam diskusi daring  bertajuk "#TUNTASBERITUNTASPAKAI" yang digelar Indonesia One Health University Network bersama Pfizer Indonesia, dikutip Sabtu (6/11).

Harry mengingatkan, antibiotik harus digunakan dengan bijak dan tepat guna. Untuk menghambat laju resistensi antimikroba, Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Penatagunaan Antimikroba (PGA) yang didasari oleh Permenkes no 8/2015 tentang implementasi Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di rumah sakit.

Menurut Harry, dokter perlu memastikan apakah pemberian antibiotik benar-benar diperlukan atau tidak. Lalu, apoteker dan farmasi juga perlu memastikan akurasi peresepannya.

"Jadi skemanya, dari resep dokter boleh diajukan farmasi ke tim PGA untuk ditinjau lebih lanjut," kata Harry.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement