REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Ketua Umum Bidang Perempuan dan Perlindungan Anak Pengurus Nasional Majelis Sinergi Kalam Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (Masika ICMI), Hardini Puspasari menurutkan, korban kekerasaan seksual yang menimpa anak perempuan Indonesia jumlahnya tidak sedikit. Mereka harus kehilangan masa depannya.
“Merujuk UUD NKRI 1945 tugas negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia, termasuk kelompok yang rentan seperti perempuan, anak, penyandang disabilitas,” ujar Hardini Puspasari dalam rilisnya, Sabtu (6/11).
Ia menyebut, salah satu hak konstitusional warga negara yakni hak untuk bebas dari ancaman dan kekerasan berhubungan dengan hak atas perlindungan dan hak atas keadilan. Korban kekerasan seksual, menurut dia, kebanyakan berjenis kelamin perempuan dan anak.
“Kekerasan seksual seolah-olah wajar dialami oleh perempuan. Akibatnya, viktimisasi berulang terhadap korban terjadi di banyak wilayah di Indonesia,” terangnya.
“Kekerasan seksual sebagai kejahatan terhadap kesusilaan semata, didukung melalui muatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),” kata dia.
Lebih jauh dia mengungkapkan, wacana moralitas juga menjadi salah satu hambatan terbesar dalam upaya korban memperoleh haknya atas kebenaran, keadilan, pemulihan, pemenuhan rasa keadilan, dan jaminan ketidakberulangan.
“Di masa pandemi Covid 19 kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan dan anak terutama lewat media internet meningkat secara signifikan, bahkan menduduki nomor 2 setelah kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga),” ujar dia.
Ia mengungkapkan, dibutuhkan komitmen dari orang sekitar untuk memberikan dukungan bagi korban dan memberikan sanksi yang menjeratkan sebagai bentuk pertanggung jawaban pelaku. Pasalnya, kasus kekerasan dan pelecehan seksual saat ini kurang menjadi perhatian publik.
“Hal ini disebabkan masih kuatnya budaya Patriarki yang melekat pada diri masyarakat dan juga belum adanya UU yang menjadi dasar bagi penegakan terhadap kasus kekerasan dan pelecehan seksual bagi perempuan dan anak di Indonesia. Sehingga kaum perempuan selalu diposisikan sebagai manusia kelas dua di masyarakat,” terangnya.
“Sebagai salah satu organisasi cendekiawan Muslim yang juga memiliki perhatian terhadap kaum perempuan anak, maka kami memandang pentingnya percepatan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) untuk bisa digunakan dalam menangangi kasus-kasus kekerasan dan pelecehan yang dialami oleh kaum perempuan,” imbuhnya.
Leih jauh dia menjelaskan, tujuan RUU PKS untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan korban, menindak pelaku dan menjamin terlaksananya kewajiban negara dan peran dan tanggung jawab keluarga, masyarakat dan korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.
“Korban punya hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang didapatkan, digunakan dan dinikmati oleh korban, dengan tujuan mengubah kondisi korban yang lebih baik, bermartabat dan sejahtera,” ujarnya.
Berdasarkan data populasi penduduk Indonesia terbanyak nomor empat di dunia dengan jumlah 273.523615 jiwa rentan dengan masalah kasus kekerasan dan pelecehan yang terjadi pada kaum perempuan Indonesia. Kekerasan seksual pada anak dan perempuan mencapai angka tertinggi pada tahun 2019 yakni sekitar 7.191 kasus.
Sementara pada 2020, jumlah kasus kekerasan pada anak dan perempuan mencapai 11.637 kasus. Sedangkan di tahun 2021, dihimpun dari sistem informasi daring perlindungan perempuan dan anak hingga 3 Juni, terdapat 1.902 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Kemudian jumlah total kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terkini di tahun 2021 telah mencapai angka 3.122 kasus.