REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Teguh membagi buku Pandemi karyanya dalam tiga bagian Protocol, Ethos dan Hope. Masing-masing menampilkan moment yang terkait dengan dengan tiga bagian tersebut.
Di chapter Protocol misalnya, salah satu foto yang menarik perhatian adalah transformasi pakaian dinas yang sehari-hari digunakan Teguh sebagai dokter saat berpraktek sebelum dan saat pandemi.
Tampak sebuah foto dr Teguh dengan setelan jas putih khas dokter lengkap kemeja dasi, jam tangan dan cincin, dan stetoskop tentunya di salah satu halaman bab ini. Wajah dr Teguh tampak terlihat jelas berkacamata, rambut dan kumis rapi yang hiasi rabut keperakan.
Pada halaman selanjutnya yang tampak dokter mengenakan masker, kacamata gogle dan jas hujan plastik berwarna merah sebagai pakaian alat pelindung diri (APD) darurat pengganti pakaian hazmat.
Alih-alih menyandingkan kedua foto berbeda ini (teknik dyptich) dalam satu halaman buku, kedua foto ini ditampilkan secara berurutan namun berbeda halaman. Dengan tata letak seperti ini pembaca membacanya dan membolak-balik halaman untuk membandingkan transformasi yang terjadi.
Selanjutnya sejumlah momen terkat protokol kesehatan seperti tanda jaga jarak, pengukuran suhu, hingga tes swab ditampilkan pada bab ini.
Selanjutnya pada chapter Ethos dan chapter Hope ditampilkan momen-momen upaya berbagai pihak di rumah sakit dalam menangani kasus Covid-19. Tampil sebagai subjek foto mulai dari janitor, tenaga medis hingga si pasien Covid-19 yang bersangkutan.
Berbagai momen upaya dan jenis tindakan medis ditampilkan di bagian ini. Mulai dari penanganan gawat darurat, ICU, bedah caesar termasuk momen kematian. Meski kasus kematian akibat Covid-19 keseluruhan cukup tinggi, buku Pandemi ini hanya menampilkan sedikit foto pada momen kelam ini.
Momen ini ditampilkan yang ditampilkan pun tidak vulgar. Itu pun ditampilkan dengan ukuran foto yang kecil pada halaman buku, hanya berukuran sekitar 2R (6x 9) cm. Hanya bagian kantong jenazah berisi jasad pasied Covid-19. Tidak seperti karya Joshua Irwandi yang menampilan foto jenazah korban Covid-19 berbalut plastik.
Buku ini diakhiri dengan foto proses operasi caesar seorang ibu pengidap Covid-19 di ruang operasi RS Immanuel. Foto lahirnya bayi ini menjadi harapan atas berbagai kasus Covid-19 yang berakhir dengan kematian.
Berapa gimmick disisipkan dalam buku. Di halaman awal pembaca akan menemukan masker medis yang disisipkan si bagian awal buku. Lainnya berupa catatan oret-oret dokter saat menerangkan proses dignosa seorang pasien hingga kemudian dinyatakan positif Covid-19.
Lainnya surat-surat curahan hati perawata saat menjalankan tugas di tengah pandemi turut menghiasi bagian dalam buku. Perawat (dan dokter) juga manusia, mereka memiliki rasa khawatir terpapar virus ini. Terlebih ratusan kasus tenaga kesehatan dokter dan perawat santer diberitakan.
Foto-foto di buku ini nyaris tidak pernah menampilkan wajah. Baik pasien, tenaga medis dokter dan perawat. Jika pun ada hanya berupa figur, sosok atau siluet. Selebihnya wajah tertutup masker dan atau kacamata gogel yang tampak di halaman-halaman buku foto ini.
Memotret momen-momen ini seperti ini pun bukan hal yang mudah. Terlebih pemotretan kadang dilakukan sambil memberikan instruksi kepada perawat dalam momen-momen genting. Memotret dari balik masker tebal, kacamata medis dan badan terbalut APD bukan kondisi idea memotret. Terlebih dilakukan sambil menghambil keputusan cepat mendiagnosa pasien Covid-19.
Buku ini tidak mencerminkan latar belakang gelar distingsi fotografi yang dimiliki Teguh. Menilik latar belakang Teguh sebagai fotografer yang banyak menghasilkan karya dengan gaya foto salon. Foto-foto di buku ini lebih menyerupai foto karya foto jurnalistik seorang pewarta foto. Pendekatan dokumenter dan jurnalisk kental terasa.
Kerja keras Teguh dan tim selama berbulan-bulan berbuah manis. Buku ini meraih penghargaan dua medali sekaligus di ajang fotografi tahunan 2021 Prix de la Photographie Paris (PX3) di Perancis. Buku foto bertajuk Pandemic karya J Teguh Widjaja raih medali emas untuk kategori People dan perunggu untuk kategori Documentary. Ajang tahunan sejak 2007 ini diselenggarakan oleh Farmani Group, grup yang sama yang menggelar ajang prestisius International Photo Awards (IPA) Lucie Awards.