Ahad 07 Nov 2021 19:29 WIB

Raja Maroko: Status Sahara Barat tidak untuk Diperdebatkan

Status Sahara Barat tidak akan pernah dinegosiasikan.

Rep: Rizki Jaramaya/ Red: Agung Sasongko
 Pengungsi wanita dari Sahara Barat mengibarkan bendera tidak resmi mereka selama parade militer yang menandai peringatan 45 tahun pembentukan Republik Demokratik Arab Sahrawi (SARD), Sabtu, 27 Februari 2021 di sebuah kamp pengungsi dekat Tindouf, Aljazair selatan. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengupayakan penyelesaian konflik di Sahara Barat setelah penarikan Spanyol pada tahun 1976 dari wilayah tersebut, yang diklaim oleh Maroko dan SADR.
Foto: AP/Fateh Guidoum
Pengungsi wanita dari Sahara Barat mengibarkan bendera tidak resmi mereka selama parade militer yang menandai peringatan 45 tahun pembentukan Republik Demokratik Arab Sahrawi (SARD), Sabtu, 27 Februari 2021 di sebuah kamp pengungsi dekat Tindouf, Aljazair selatan. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengupayakan penyelesaian konflik di Sahara Barat setelah penarikan Spanyol pada tahun 1976 dari wilayah tersebut, yang diklaim oleh Maroko dan SADR.

REPUBLIKA.CO.ID, RABAT -- Raja Maroko Mohamed VI mengatakan, status Sahara Barat tidak akan pernah dinegosiasikan. Hal ini menyusul ketegangan antara Maroko dan Aljazair atas wilayah Sahara Barat yang disengketakan.

"Hari ini seperti di masa lalu, kedaulatan Maroko atas Sahara Barat tidak akan pernah bisa dinegosiasikan," ujar Raja Mohamed VI, dilansir Aljazirah, Ahad (7/11).

Baca Juga

Maroko mengeklaim Sahara Barat sebagai wilayah kedaulatannya. Sementara Aljazair mendukung dan menjadi tuan rumah gerakan kemerdekaan Front Polisario Sahara Barat, yang telah berperang sejak awal 1970-an.

 “Jika kita terlibat dalam negosiasi, pada dasarnya untuk mencapai solusi damai untuk konflik regional buatan ini,” kata Raja Mohamed VI.

Sebanyak 80 persen wilayah Sahara Barat dikendalikan Maroko. Wilayah tersebut memiliki cadangan fosfat yang luas dan daerah penangkapan ikan Atlantik yang kaya.

Untuk mempertaruhkan klaim Maroko di Sahara Barat, ayah Raja Mohamed VI, Hassan II, mengirim 350 ribu sukarelawan sipil di Green March ke wilayah itu pada 1975. Ribuan orang dikirim untuk memprotes dan menuntut agar Spanyol menyerahkan wilayah Sahara Barat, yang pada saat itu merupakan koloninya.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement