REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) setuju dengan hasil temuan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang menyebut banjir bandang di Kota Batu, Jawa Timur, terjadi karena jebolnya bendungan alami yang tercipta dari longsoran tebing sungai. Tapi, KLHK menyebut longsoran tebing sungai di hulu Kali Brantas itu terjadi bukan karena pembalakan liar, melainkan karena masifnya perkebunan kentang di daerah aliran sungai (DAS).
"Saya menggunakan citra satelit sentinel pada 2015 dan 2021, terlihat ada perkebunan masyarakat (di DAS Kali Brantas). Jadi, menurut saya isu illegal logging itu tidak benar," kata Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai (PEPDAS) KLHK, Saparis Soedarjanto kepada Republika.co.id, Ahad (7/11).
Saparis menjelaskan, perkebunan kentang sifatnya tak boleh terlalu basah. Alhasil, petani akan selalu mengalirkan air hujan ke sungai, sehingga tak ada resapan air ke tanah.
Dengan begitu, debit air di sungai pun melonjak ketika hujan. Hal itu menyebabkan penggerusan tebing sungai hingga mengakibatkan longsor. Material longsoran berupa tanah dan pohon ini yang lama kelamaan menjadi bendungan alami.
"Bendungan alami ini kan tidak stabil. Jadi hujan sedikit saja, itu akan menambah beban berat air, lalu jebol dan terjadilah banjir bandang," kata Saparis.
Dia mengungkapkan, luas Daerah Tangkapan Air (DTA) banjir di hulu Kali Brantas mencapai 21.231 hektare (ha). Tapi, areal DTA banjir ini banyak yang telah beralih fungsi menjadi areal perkebunan dan permukiman.
Dari total luas DTA tersebut, sebanyak 10.625 ha atau sekitar 50 persen di antaranya adalah kawasan hutan. "Dari luas kawasan hutan ini, 89 persen di antaranya masih berupa hutan," ujarnya. Sebanyak 11 persen lainnya beralih fungsi menjadi area pemukiman, perkebunan, dan sawah.
Selanjutnya, dari luas DTA banjir itu, seluas 3.344 ha digunakan sebagai areal permukiman (15.8 persen). Lalu 3.016 ha (14,2 persen) digunakan untuk lahan pertanian kering. "261 hektare lahan pertanian ini berada di kawasan hutan," ujarnya.
Saparis menyebut, lahan pertanian atau perkebunan itu mayoritas dipakai untuk perkebunan kentang. Khusus perkebunan kentang di kawasan hutan, kata dia, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Brantas Sampean sudah menyampaikan persoalannya ke pemerintah daerah setempat sejak beberapa tahun lalu.
"Karena perkebunan kentang ini kan terkait masyarakat, jadi kan harus sama pemda. Makanya pemda harus care," ujarnya.
Terkait perkebunan kentang di luar kawasan hutan, Saparis tak mau berkomentar banyak. Menurutnya, Kementerian Pertanian harus ikut memberikan penjelasan terkait munculnya perkebunan di DAS Kali Brantas ini. Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) dan pemda setempat juga harus berbicara kenapa ada permukiman di DAS sungai itu.
"Selama ini saya juga bingung, selama ini Kementerian Pertanian adem ayem saja toh," ujar Sapris.
Untuk mencegah banjir bandang berulang, Saparis menyebut KLHK akan melakukan sejumlah langkah mitigasi. Beberapa di antaranya memasang early warning system di kawasan hulu, mengembalikan fungsi DAS sebagaimana mestinya, dan melakukan kegiatan konservasi di kawasan DAS tersebut.
Banjir bandang menerjang Kota Batu pada Kamis (4/11). Akibatnya, tujuh orang warga meninggal dunia dan ratusan bangunan rusak. Pada Sabtu (6/11), Tim BNPB bersama pemda setempat melakukan survei udara ke hulu Kali Brantas.
Ditemukan enam alur lembah sungai yang setiap sisinya sangat terjal dan tidak dilindungi oleh vegetasi yang rapat serta berakar kuat. Sedangkan di bagian hilir, ditemukan perkebunan semusim di sepanjang bantaran sungai. Perkebunan itu tampak rusak seperti meleleh karena tergerus air. Musababnya adalah jenis tanamannya tidak berakar kuat dan tidak menyerap air.
BNPB mengusulkan kegiatan susur sungai guna mencegah banjir kembali terjadi di Kota Batu. Pelaksana tugas Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari menekankan pentingnya susur sungai guna memastikan kelancaran aliran air. Apalagi, fenomena La Nina hingga Februari 2022 bisa memicu peningkatan frekuensi dan intensitas curah hujan dari 20 persen hingga 70 persen.
Apalagi ia memantau masih banyak terlihat pohon-pohon tumbang di lokasi bekas longsoran di hulu sungai di Batu. "Diperlukan adanya giat susur sungai dengan instansi yang berpengalaman seperti TNI, Polri, Basarnas. Sebab hal itu menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan guna melihat dimana saja titik-titik potensi sumbatan atau bendung alam di wilayah hulu," kata Muhari dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Ahad (7/11).
Ia juga merekomendasikan agar wilayah lereng tebing atau kawasan kebun semusim lainnya ditanami dengan jenis vegetasi yang keras dan berakar kuat. Sehingga dapat mengikat tanah dan mencegah terjadinya longsoran.
"Selain itu, BNPB merekomendasikan agar pemanfaatan lereng jalur lembah sungai untuk perkebunan semusim sebaiknya dapat dihindari. Dalam hal ini, pemerintah Kota Batu bisa mengacu kepada aturan penggunaan lahan sepanjang sempadan sungai," ujar Muhari.
Evakuasi warga
Pemerintah Kota Batu telah merencanakan susur sungai sebagai rencana jangka pendek upaya mitigasi. Wali Kota Batu, Dewanti Rumpoko juga berkomitmen mengevakuasi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana ketika terjadi hujan deras dalam waktu yang lama.
Pemkot Batu juga akan menitipkan bibit vetiver kepada TNI dan Polri serta instansi terkait agar ditanam di lokasi tebing, lembah maupun bantaran sungai sebagai pondasi alami. "Kalau bisa sambil susur sungai, TNI-Polri untuk bisa kita titipi vetiver untuk bisa ditanam,” kata Dewanti.