Bertamasya ke Kebun-Kebun Islam di Masa Silam
Oleh: Azhar Rasyid
Zaman Keemasan Islam, yang membentang antara abad ke-8 hingga abad ke-14 M, sering kali dikenang dengan penuh kebanggaan. Ini adalah masa ketika Islam tersebar hingga ke berbagai wilayah di luar tanah kelahirannya. Kekhalifahan Islam berdiri dan membangun sistem politik yang kuat. Islam menjangkau hingga ke berbagai penjuru Dunia Arab, tanah Persia, Asia Tengah, Spanyol hingga Afrika Utara. Para sarjana Muslim menerjemahkan banyak buku ilmu pengetahuan dari bahasa Yunani, India, dan Persia ke bahasa Arab. Dari sini lahirlah berbagai cabang ilmu pengetahuan yang maju untuk ukuran zamannya dan menjadi fondasi bagi ilmu pengetahuan modern.
Tapi, ada satu aspek lain dari Zaman Keemasan Islam yang sama menariknya, tapi jarang disebut orang, yakni kebun-kebun Islam (Islamic gardens).
Sejak awal kelahiran Islam, ada kecenderungan di kalangan Muslim untuk tertarik pada tanam-tanaman yang hijau dan manfaat yang mereka bawa, baik keindahan, keteduhannya, serta sifat menyembuhkan dalam daun atau buahnya. Di abad-abad awal perkembangannya, Islam terutama sekali eksis di tengah penduduk yang secara geografis berada di padang pasir atau tanah kering.
Di tengah padang pasir dan tanah kering yang gersang, kebun yang hijau merupakan tempat yang dengan segera mengingatkan orang pada gambaran tentang surga yang menyenangkan. Al Qur’an menyebut tentang surga dengan ilustrasi yang mirip dengan kebun atau taman dengan unsur-unsurnya seperti pohon, buah, bunga dan air. Kebun yang dipenuhi tumbuhan yang rimbun, wangi bunga yang segar, gemericik air yang mengalir, angin sepoi-sepoi, semuanya memberi ketenangan pada setiap orang yang berada di tengahnya.
Tradisi membangun kebun di tengah gurun sebenarnya sudah ada sejak masa pra-Islam, namun kehadiran Islam membawa ide tentang membangun kebun ini ke level yang lebih tinggi. Penyebaraan Islam secara politik mendorong lahirnya kota-kota yang lebih maju. Maju di sini bukan hanya dalam pengertian penduduk yang ramai dan perekonomian yang sangat aktif, tapi juga pembangunan infrastruktur.
Kota tidak hanya indah karena arsitektur bangunan maupun jalannya, tapi juga kebun yang dibangunnya. Untuk membangun kebun di tanah-tanah bergurun dan jarang dibasahi hujan itu diperlukan keterampilan dan terobosan di bidang pengairan dan pertanian. Perluasan kekuasaan Islam di abad-abad pertamanya ditandai oleh revolusi di bidang agrikultur, dengan salah satunya tampak dalam bidang pembuatan kebun tanaman dan buah.
Salah satu kota Muslim yang paling awal memiliki kebun adalah Baghdad di bawah Dinasti Umayyah. Di Kairo (Mesir), sultan Mamluk, Qalawun, membawa berbagai tumbuhan dari Suriah untuk ditaruh di kebun yang dibuatnya. Sebuah genre puisi baru di dunia sastra Arab bernama rawdiya (puisi kebun) bahkan lahir karena ketertarikan pada kebun ini.
Namun, di Spanyol masa Islam-lah kebun-kebun berkembang dengan sangat pesat, baik dari segi fungsi, jenis tanaman, peningkatan produksi, teknik irigasi, hingga pengaturan lanskap kebun. Sejarawan ahli seni dan arsitektur Islam klasik, D. Fairchild Ruggles, dalam bukunya, Gardens, Landscape, and Vision in the Palaces of Islamic Spain, menyebut bahwa para raja Muslim Spanyol adalah pelopornya. Mereka tertarik berkebun tanaman asing demi alasan keindahan, guna mendapatkan tanaman obat serta untuk menunjukkan kemampuan mereka mengoleksi benda-benda yang jarang dipunyai orang.
Emir pertama Cordoba (sebuah kota yang terletak di kawasan Andalusia) Abd al Rahman I (yang memerintah sejak tahun 756) mengumpulkan dan mencangkok tanaman eksotis untuk dikembangkan di daerah kekuasaannya. Bila penguasa lain mengirim utusan ke negeri yang jauh untuk membuka hubungan dagang, maka ia mengirim utusan untuk mendapatkan tanaman yang tidak ada di Andalusia. Tanaman-tanaman asing ini ia taruh di perkebunan kerajaan bernama Rusafa. Kebun-kebun di Rusafa diairi dengan baik dan dikenal karena keragaman jenis tanaman yang dipunyainya.
Salah satu tanaman eksotis yang mengisi kebun Abd al Rahman I adalah pohon delima asal Suriah. Ketika pertama dibawa ke Andalusia, buahnya, walau tampak indah, tidak bisa dimakan. Salah satu pengikut Abd al Rahman I lalu bereksperimen dengan bijinya dan menanamnya di tanah Andalusia. Eksperimen menanam tanaman asing ini berhasil, dan dengan segera ditiru oleh penduduk Andalusia.
Buah delima di dalam bahasa Inggris dikenal sebagai pomegranate, yang secara harfiah berarti ‘apel granada’. Nama Kota Granada, salah satu kota ternama di Spanyol Masa Islam, diambil dari nama buah delima ini, yang ditanam dalam jumlah banyak oleh penduduknya kala itu.
Di Cordoba sendiri datang berbagai tanaman dan buah dari India dan Cina, yang dibawa masuk oleh imigran maupun pedagang. Ada yang dibawa dalam bentuk biji, tapi tak sedikit juga yang dibawa dalam bentuk buah kering.
Selain buah delima Suriah, ada beberapa tanaman lain yang menjadi karakteristik Dunia Islam masa itu. Salah satunya adalah buah ara, yang dikenal juga sebagai buah tin, buah yang namanya diabadikan sebagai nama surah dalam Al Qur’an. Pada pertengahan abad ke-9, seorang penyair bernama Yahya al Jazal dengan diam-diam membawa biji-biji buah tin jenis baru dalam tumpukan buku yang ia bawa dari Byzantium menuju Cordoba. Biji itu ditanam di Cordoba dan berhasil berbuah, meski tidak tumbuh di tanah asalnya.
Raja Seville pada abad ke-11, al Mu’tamid, suatu saat ditawari oleh seorang petani empat buah melon ukuran besar. Ia sangat tertarik, lalu bertanya teknik yang dipakai petani. Sang petani rupanya memakai teknik perkebunan baru, termasuk dengan pembabatan dahan dan penopangan tanaman dengan kayu. Di sisi Dunia Islam yang lain, seorang kalifah Muwahhidun yang berkuasa di Afrika Utara, Abu Ya’qub Yusuf I, membeli beragam jenis buah, mulai dari pir hingga apel, dari Granada dan Guadix. Ia lalu memerintahkan agar buah-buah ini ditanam di kebun yang ada di istananya, al Buhayra.
Peradaban Islam di Spanyol dikenal berkontribusi memajukan ilmu pengetahuan lewat berbagai perpustakaan yang dibangun oleh para rajanya dan kehadiran para sarjana di berbagai bidang, mulai dari astronomi hingga filosofi. Para sarjana ini menulis banyak karya penting yang diwariskan ke zaman selanjutnya.
Namun, yang tak boleh dilupakan adalah karya-karya di bidang botani yang juga lahir dalam jumlah yang besar pada masa ini dan membawa pengaruh penting. Para botanis ini umumnya juga berprofesi sebagai dokter yang harus mengetahui dunia tanaman dalam rangka mencari dan membuat obat-obatan herbal. Mereka menerjemahkan dan merangkum ilmu botani dari masa Yunani dengan pengetahuan agrikultur dari Iberia, plus pengamatan mereka sendiri atas tanaman yang mereka temukan. Di antara mereka ada nama Ibn Juljul (dokternya raja Cordoba), Abulcasis (dokternya al Hakam II dan al Mansur) serta Ibnu Sina atau Avicena yang ternama itu.
Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Sumber: Majalah SM Edisi 11 Tahun 2019