REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Wabah pandemi Covid-19 membuat Pelaku Usaha Mikro dan Kecil (PUMK) mengalami berbagai permasalahan usaha. Di antaranya, penurunan volume usaha, hingga melemahnya kolektibilitas pinjaman.
"Bahkan, penutupan tempat usaha menjadi hal yang dialami PUMK di masa pandemi yang mengakibatkan mereka terjerat masalah hukum. Seperti masalah kredit macet, utang piutang, wanprestasi, hingga masalah ketenagakerjaan dengan karyawan dan sebagainya," ujar Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Arif Rahman Hakim melalui siaran pers pada Selasa (9/11).
Arif mengakui, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, PUMK masih kesulitan mendapatkan bantuan dari konsultan profesional. Baik konsultan usaha maupun konsultan hukum.
Maka, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang diturunkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan dan Pemberdayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang tertera pada Pasal 48 hingga Pasal 52 tentang penyediaan Layanan Bantuan dan Pendampingan Hukum bagi pelaku usaha mikro dan usaha kecil, Kementerian Koperasi dan UKM telah menyusun program kegiatan fasilitasi hukum untuk membantu PUMK menyelesaikan permasalahan hukum yang dihadapi. "Sehingga, UMK dapat terus menjalankan usahanya dan berkembang dengan baik," tutur dia.
Rinciannya, Pasal 48 menegaskan pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menyediakan layanan bantuan dan pendampingan hukum kepada pelaku UMK, Layanan Bantuan dan Pendampingan Hukum diberikan secara gratis. Lalu pasal 49 berisi persyaratan mendapatkan layanan bantuan dan pendampingan hukum yaitu pelaku UMK dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah, memiliki NIB, serta menyerahkan dokumen berkaitan dengan perkara.
Sementara Pasal 50 menegaskan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat memberikan bantuan pembiayaan kepada pelaku UMK yang meminta layanan bantuan dan pendampingan hukum yang disediakan pihak lain. "Tata cara dan besaran pembiayaan layanan ditetapkan oleh Menteri," tuturnya.
Sedangkan Pasal 51 menyebutkan, dalam memberikan bantuan dan layanan pendampingan hukum, pemerintah pusat dan pemerintah daerah melaksanakan beberapa hal. Pertama, melakukan identifikasi permasalahan hukum yang dihadapi oleh pelaku UMK.
Kedua, membuka informasi kepada pelaku UMK mengenai bentuk dan cara mengakses layanan bantuan dan pendampingan hukum. Ketiga, meningkatkan literasi hukum.
Keempat, mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan program dan kegiatan layanan bantuan dan pendampingan hukum. "Kelima, melakukan kerjasama dengan instansi terkait, perguruan tinggi dan atau organisasi profesi hukum," jelas Arif.
Berikutnya, Pasal 52 memaparkan pelaksanaan layanan bantuan dan pendampingan hukum dilaksanakan oleh Kementerian/lembaga dan perangkat daerah yang membidangi usaha mikro, kecil dan menengah sesuai dengan kewenangan. Hasil pelaksanaan layanan bantuan dan pendampingan hukum dilaporkan kepada Kementerian Koperasi dan UKM. "Kementerian Koperasi dan UKM melaksanakan evaluasi paling sedikit satu kali dalam setahun," tutur dia.
Arif menambahkan, program layanan bantuan dan pendampingan hukum ini secara khusus ditangani Asisten Deputi Fasilitasi Hukum dan Konsultasi Usaha yang dibentuk di bawah Deputi Bidang Usaha Mikro, sesuai dengan nomenklatur Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 1 tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Koperasi dan UKM. Tujuannya, lanjut Sesmenkop, agar fokus membantu pelaku UMK mengatasi permasalahan hukum.