'Media Sukses Dorong Perubahan ke Kondisi Lebih Baik'
Rep: My38/My39/ Red: Fernan Rahadi
Prof Hermin Indah Wahyuni | Foto: Tangkapan layar Zoom
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Saat ini, permasalahan yang dihadapi masyarakat begitu kompleks. Masalah tersebut harus dituntaskan dengan kualitas komunikasi yang substantif serta dengan basis etika yang kuat.
Skenario ideal yang dibayangkan sejak dikenalnya internet maupun media baru, dalam kenyataannya mengalami berbagai paradoks dan ketegangan. Media baru yang awalnya menjanjikan komunikasi yang bebas dari belenggu negara dan pasar, justru dalam kenyataannya terbajak oleh kepentingam ekonomi politik para aktor yang tak mudah dikendalikan.
"Saat ini masyarakat tidak lagi ditandai dengan sentralisasi informasi oleh media konvensional, seperti halnya press ataupun sistem komunikasi publik yang bekerja dengan basis profesionalitas, tetapi oleh dominasi media baru dengan logika disruptif dan fragmentasi yang tak terbayangkan sebelumnya," ujar Prof Hermin Indah Wahyuni saat orasi ilmiah pengukuhannya sebagai Guru Besar Fisipol UGM, Selasa (9/11)
Hermin juga menjelaskan kepentingan publik tidak dapat dikelola dan difasilitasi oleh platform bebas yang sistemnya memiliki potensi yang membahayakan, hingga menuntun masyarakat makin jauh dari komunikasi yang dialogis dan rasional. "Jika mengutip dari Anthony Giddens, kita membutuhkan makna charta era digital untuk keluar dari permasalahan kompleks seperti ini," ujarnya.
Ia menjelaskan, komunikasi masa lalu menentukan komunikasi saat ini. Sedangkan komunikasi saat ini akan menentukan komunikasi masa depan. Jika dilihat, kata Hermin, media massa Indonesia berhasil menjadi media dengan jangkauan luar biasa, tapi belum bisa dikatakan sebagai media yang sukses.
"Media yang sukses adalah yang dapat mendorong perubahan menuju kondisi lebih baik. Dalam kasus sistem komunikasi publik penyiaran, terdapat permasalahan yang membutuhkan komitmen dan kemauan baik oleh semua pihak. Untuk membangun sistem komunikasi publik yang handal," kata Hermin.
Ia kemudian menawarkan solusi keberhasilan komunikasi yang tidak hanya dengan norma, melainkan juga kehadiran etika. Sebab, komunikasi yang berbasis norma hanya akan mengantarkan sampai pada dikotomi baik dan buruk, suka dan tidak suka, serta kita dan mereka. "Konsekuensinya adalah kita akan kesulitan untuk sampai pada pemaknaan komunikasi yang komprehensif sebagai energi perubahan," kata dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM itu.
Kehadiran etika dalam sistem komunikasi inilah yang kemudian ia sebut sebagai komunikasi autopoesis. Sistem komunikasi tersebut berorientasi pada elemen-elemen dalam diri sendiri.
"Komunikasi adalah penentu yang akan mendorong secara efektif bangunan secara responsistem. Semakin masyarakat memiliki kualitas komunikasi yang baik, mereka akan sampai pada cara merespons problem masyarakat yang ke depan pastinya akan semakin kompleks," tuturnya.
Persoalan tersebut menuntut refleksi sistemik yang saling tergantung dan terhubung. Sebab, sistem dalam masyarakat kontemporer tidak hanya merepresentasikan sistem sosial yang klasik. Namun, membawa berbagai kode hibrid yang tak terbayangkan sebelumnya.
"Ini menjadi tantangan khusus bagi para pengkaji komunikasi dalam perspektif sistem untuk mengembangkan analisis yang lebih tajam serta lebih adaptif agar mampu mengejar pembacaan atas interaksi komunikasi atas sistem sosial," ujarnya.