Selasa 09 Nov 2021 20:33 WIB

Derita Petani Palestina, Punya Tanah, Tapi Dijaga Israel

Petani di Desa Qaffin hanya diizinkan mengunjungi kebunnya tiga kali dalam sepekan.

Rep: Kamran Dikarma/Rizki Jarayama/ Red: Teguh Firmansyah
Para petani Palestina mengendarai truk bermuatan terong dekat kota Tepi Barat Jericho di Lembah Jordan, Selasa, 30 Juni 2020. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tampaknya bertekad untuk melaksanakan janjinya untuk mulai mencaplok bagian-bagian Tepi Barat yang diduduki, mungkin secepat Rabu.
Foto: AP / Oded Balilty
Para petani Palestina mengendarai truk bermuatan terong dekat kota Tepi Barat Jericho di Lembah Jordan, Selasa, 30 Juni 2020. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tampaknya bertekad untuk melaksanakan janjinya untuk mulai mencaplok bagian-bagian Tepi Barat yang diduduki, mungkin secepat Rabu.

REPUBLIKA.CO.ID, Tiga hari dalam sepekan, para petani Palestina di desa Qaffin, Tepi Barat, berbaris di depan sebuah gerbang kuning. Mereka hendak mengunjungi kebunnya yang terletak di balik tembok pemisah Israel. Namun sebelum melintas, mereka satu per satu harus menunjukkan surat izin militer ke tentara Israel yang berjaga.

Pemandangan demikian sudah lumrah, tapi sebenarnya janggal. Sebab para petani Palestina itu sesungguhnya hendak menyambangi tanah mereka sendiri. Mereka mengungkapkan, pembatasan Israel semakin ketat dari waktu ke waktu. Meski memiliki kebun, hidup tetap terasa sulit.

Baca Juga

Ibrahim Ammar adalah salah satu petani Palestina yang harus rutin menghadapi pemeriksaan tentara Israel saat hendak menyambangi kebunnya. Dulu, dia menanam beraneka buah dan sayur, termasuk semangka serta jagung.

Namun sekarang, ia hanya menanam zaitun dan almon. Alasannya, dua tanaman tersebut hanya memerlukan sedikit perhatian atau perawatan. Pembatasan akses oleh Israel membuat Ammar tak bisa menyemai beraneka ragam sayur atau tanaman lain. Sebab dalam sepekan, dia hanya diizinkan mengunjungi kebunnya tiga kali.

Meski masih bisa menanam zaitun dan almon, kegiatan Ammar sebagai petani tak serta merta menjadi mudah. Saat panen tiba, dia tetap hanya diperkenankan mengunjungi kebunnya selama tiga kali dalam sepekan. Saat Ammar mengajak anggota keluarganya untuk membantunya menuai hasil panen, izin mesti diajukan ke tentara Israel.

“Ayah saya, kakek saya, mereka sangat bergantung pada tanah. Sekarang saya tidak bisa menghidupi diri sendiri dan anak-anak saya,” kata Ammar.

Untuk menambal pendapatan yang tak seberapa, Ammar memutuskan bekerja sampingan sebagai sopir taksi. Berbeda dengan Ammar, petani Palestina lainnya, Taysir Harashe, mengaku sudah frustrasi dengan penerapan pembatasan akses oleh Israel. “Tiga hari tidak cukup untuk merawat tanah. Tanah ini semakin buruk,” ujarnya.

Menyiasati kesulitannya, Harashe memutuskan bercocok tanah dengan memanfaatkan bagian atap rumahnya. PBB memperkirakan, sekitar 150 komunitas Palestina menghadapi kesulitan yang sama dengan Ammar dan Harashe.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement