REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Kesehatan, dr Dante Saksono Herbuwono, mengatakan, pengembangan Fitofarmaka (obat dari bahan alami) merupakan fokus utama pemerintah untuk mengurangi impor obat. Pasalnya, bahan baku alami obat-obatan banyak tersedia di Indonesia.
Selain itu, pengembangan Fitofarmaka juga sejalan dengan transformasi sistem kesehatan nasional. “Ini akan menjamin keamanan kita dalam melakukan transformasi kesehatan di masa depan,” kata Dante, sebagaimana dikutip dari siaran persnya, Selasa (9/11).
Fitofarmaka merupakan obat dari bahan alami yang telah melalui proses uji klinis sehingga memiliki khasiat setara dengan obat. Dante menyebut, sejumlah Fitofarmaka yang telah dikembangkan dan diproduksi di Indonesia adalah seperti immunomodulator, obat tukak lambung, antidiabetes, antihipertensi, obat untuk melancarkan sirkulasi darah, dan obat untuk meningkatkan kadar albumin.
Dante menekankan, obat berbahan baku kimia yang digunakan saat ini awalnya juga dikembangkan dari bahan alam. Salah satu di antaranya adalah obat diabetes Metformin yang awalnya berasal dari daun.
Pengembangan Fitofarmaka di Indonesia sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Namun, setelah 5 tahun instruksi tersebut diterbitkan, pengembangan Fitofarmaka seakan jalan di tempat.
Dari sekitar 11.218 tanaman obat yang tercatat oleh Kementerian Kesehatan, baru ada 26 Fitofarmaka menurut data Kemenkes. Sedangkan menurut Nomor Izin Edar dari Badan POM, terdapat 35 Fitofarmaka yang terdaftar.
Sekretaris Perusahaan Indofarma, Wardjoko Sumedi, mengatakan, potensi pengembangan Fitofarmaka di Indonesia sebenarnya terbuka lebar. "Potensi Fitofarmaka ke depan akan sangat bagus karena Fitofarmaka akan diupayakan masuk ke dalam Fornas (Formularium Nasional) sebagai upaya pengobatan promotif dan preventif," kata dia kepada wartawan, Selasa (9/11).
Direktur Pengembangan Bisnis dan Saintifik Dexa Group, Raymond Tjandrawinata, menyebut, pengembangan Fitofarmaka bisa mengantisipasi terjadinya supply shock seperti yang sempat dialami industri farmasi Indonesia pada awal pandemi Covid-19. "Itulah kata kunci yang harus disepakati bahwa urgensi untuk membangun kemandirian ini tidak bisa ditawar lagi, urgensi ini bisa dibangun bersama," ujarnya.