Rabu 10 Nov 2021 18:12 WIB

Ini Hukum Pernikahan Online yang Dibahas Ijtima Ulama

Ijtima ulama membahas hukum pernikahan online.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Ini Hukum Pernikahan Online yang Dibahas Ijtima Ulama. Foto: Ilustrasi Pernikahan Dini
Foto: Pixabay
Ini Hukum Pernikahan Online yang Dibahas Ijtima Ulama. Foto: Ilustrasi Pernikahan Dini

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-VII bertema 'Optimalisasi Fatwa Untuk Kemaslahatan Bangsa' membahas masalah strategis kebangsaan, fikih kontemporer, hukum dan perundang-undangan. Salah satu yang dibahas di dalamnya adalah hukum pernikahan online.

Hukum pernikahan online ini sedang dibahas dalam sidang komisi fikih kontemporer dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di Hotel Sultan Jakarta pada 9-11 November 2021.

Baca Juga

Dalam buku materi ijtima ulama ke-VII ini dijelaskan, pernikahan merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW bagi manusia, agar manusia tidak sewenang-wenang berbuat semaunya seperti binatang yang tanpa aturan.

Pernikahan dalam istilah syara’ diartikan sebagai suatu akad (ijab qabul) antara wali calon istri dan calon mempelai laki-laki dengan ucapan tertentu dan dengan memenuhi syarat dan rukunnya. Definisi ini memberikan pemahaman bahwa dalam melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat dan rukun. Selain itu, mengingat pernikahan bukan hanya sebagai salah satu bentuk ibadah tetapi juga merupakan bentuk muamalah, maka untuk menyatakan keabsahannya tidak cukup dengan pertimbangan doktrin hukum fikih semata, tetapi juga harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan mempertimbangkan dua aspek hukum ini, seseorang telah melakukan ketaatan kepada Allah SWT dan juga mentaati ulil amri.

Persoalan pernikahan dari zaman ke zaman akan selalu menarik dan mengalami dinamisasi. Khususnya tentang praktik nikah secara tidak langsung atau melalui teknologi. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah menyatakan "hukum pernikahan melalui telepon" pada rapat Dewan Pimpinan Harian MUI yang berlangsung pada 16 April 1996 dan ditetapkan pada 7 September 1996 di Jakarta.

Keputusan tersebut berbunyi, "Sehubungan telah terjadi sejumlah kasus perkawinan atau pernikahan di masyarakat yang dinilai tidak lazim dan dilakukan oleh umat Islam Indonesia, yang sebagian telah diberitakan oleh media massa, sehingga menimbulkan tanda tanya, prasangka buruk, kerisauan dan keresahan di kalangan masyarakat, MUI dalam beberapa hari ini telah menerima pengaduan, pertanyaan, dan permintaan fatwa yang disampaikan secara langsung, tertulis, maupun lewat telepon dari masyarakat terkait masalah tersebut."

Oleh karena itu, dalam rapat Dewan Pimpinan Harian MUI yang berlangsung pada 16 April 1996 masalah tersebut telah dibahas secara hati-hati dan seksama, dan penuh keprihatinan, dengan mempertimbangkan hasil tabayyun, ketentuan hukum, dan kepentingan umum. Atas dasar itu, dengan memohon taufiq dan hidayah Allah SWT, MUI menyampaikan pernyataan dan ajakan sebagai berikut.

Pertama, pernikahan dalam pandangan agama Islam adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti sunah Rasulullah, dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Kedua, ketentuan umum mengenai syarat sah pernikahan menurut ajaran Islam adalah adanya calon mempelai pria dan wanita, adanya dua orang saksi, wali, ijab kabul, serta mahar (mas kawin).

Ketiga, ketentuan pernikahan bagi warga negara Indonesia (termasuk umat Islam Indonesia) harus mengacu pada Undang-Undang Perkawinan (UU Nomor 1 Tahun 1974) yang merupakan ketentuan hukum negara yang berlaku umum, mengikat, dan meniadakan perbedaan pendapat, sesuai kaidah hukum Islam. Yakni, keputusan pemerintah itu mengikat untuk dilaksanakan dan menghilangkan perbedaan pendapat.

Keempat, umat Islam Indonesia menganut paham Ahlus sunnah wal jama’ah dan mayoritas bermadzhab Syafi’i, sehingga seseorang tidak boleh mencari-cari dalil yang menguntungkan diri sendiri. Kelima, menganjurkan kepada umat Islam Indonesia, khususnya generasi muda, agar dalam melaksanakan pernikahan tetap berpedoman pada ketentuan-ketentuan hukum tersebut di atas.

Keenam, kepada para ulama, muballigh, dai, petugas-petugas penyelenggara perkawinan atau pernikahan agar memberikan penjelasan kepada masyarakat supaya tidak terombang-ambing oleh berbagai macam pendapat dan memiliki kepastian hukum dalam melaksanakan pernikahan dengan mempedomani ketentuan di atas.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement