Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syaeful Cahyadi

Andai Negara Benar-Benar Bubar

Politik | Wednesday, 10 Nov 2021, 23:07 WIB
Ilustrasi kekacauan. Sumber gambar: republika.co.id

Perempuan muda itu berbicara panjang lebar soal teori-teori dunia pergerakan kiwari. Ia, anak muda 20-an tahun, menganggap dari sekian banyak sumber masalah, negara adalah salah satunya bagi manusia. Contoh-contoh dari berbagai negara ia hadirkan saat negara, alih-alih melindungi, malah merepresi warganya. Dari sekian contoh itu, tak luput ia sebutkan Indonesia, negara tempat ia hidup. Omnibus law, kekerasan oleh oknum aparat, penyerobotan lahan adat, hingga penegakan hukum setengah hati.

“Aku kadang kepikiran, jangan-jangan kalau negara ini dibubarkan, kita bisa hidup lebih damai,” cetusnya.

“Serius? Kamu yakin?” tantang saya kemudian.

Dan jawaban dari mulutunya tidak lebih dari nada putus asa pada negaranya sendiri. Dari sekian banyak teori yang ia pelajari, muncul aneka gagasan ideal di kepalanya. Sayang, saat melihat kenyataan, ia terpaksa memendam semua itu. Hingga, saya pun menganggap wajar rasa putus asa di dirinya itu.

Namun, apakah saat negara bubar semua masalah itu akan benar-benar hilang? Sesederhana itukah?

***

Dari sekian banyak fungsi negara, salah satunya adalah untuk melindungi warganya. Dalam konteks Indonesia, hal itu juga turut disebutkan dalam pembukaan UUD 1945. Untuk alasan yang sama pula, dibentuklah berbagai peraturan beserta aparat keamanaan, termasuk aparat militer. Saya lantas membayangkan, bagaimana jika suatu hari nanti, saat saya sedang asyik menikmati kopi di pagi hari tiba-tiba gawai berdenting. Ternyata, terdapat sangat banyak pemberitahuan dari berbagai media sosial dengan inti pesan bernada sama: Indonesia bubar!

Kemungkinan terbesar, saya akan tetap terus melanjutkan minum kopi sambil mencari tahu lebih lanjut. Siapa yang telah menyebarkan informasi itu? Jangan-jangan ini hanya kabar hoax atau provokasi semata. Tetapi, setelah sekian lama menelusuri, ternyata kabar itu memang ini benar adanya. Negara ini telah resmi dinyatakan bubar. “Lalu, saya saat ini ikut negara mana, dong?”

Beberapa saat kemudian, tetangga-tetangga saya ikut heboh karena berita itu. Para PNS kebingungan apakah harus masuk kerja atau tidak. Sebab, selama ini mereka disebut sebagai abdi negara sementara saat ini negara telah bubar. Tayangan televisi ramai memberitakan masalah ini. Kekacauan terjadi di berbagai kota. Kantor pemerintahan, mata uang, aneka peraturan, dan hal-hal administratif lain tidak lagi berlaku bersamaan dengan bubarnya negara.

Segera saja, wilayah sangat luas ini menjadi sebuah tanah tak bertuan. Tidak ada penguasa resmi dan diakui. Warganya kebingungan. Kekacauan terjadi. Antrian panjang terjadi di berbagai pusat layanan masyarakat. Bersamaan dengan itu, tidak lagi instansi resmi dengan tugas melindungi wilayah yang dahulu disebut Indonesia. Militer telah kehilangan komandonya.

Di saat hampir bersamaan, mungkin, negara-negara di luar sana segera menentukan sikap atas kekacauan ini. Toh, negara bernama Indonesia telah hilang dan tidak ada yang melindungi wilayah itu. Bisa jadi, negara-negara itu akan berlagak seperti pahlawan untuk menyelamatkan Indonesia dari huru-hara. Pemandangan jet tempur melintasi wilayah udara bekas negara ini mungkin akan jadi hal biasa. Washington, Pyongyang, Beijing, hingga London disibukkan dengan bubarnya negara Indonesia.

Atau, jangan-jangan, ada beberapa negara yang terang-terangan akan menginvansi bekas negara Indonesia untuk menjadikannya sebagai bagian dari mereka. Tiba-tiba di suatu pagi, beberapa minggu setelah kabar pembubaran negara, bom-bom dijatuhkan, pertempuran sisa-sisa militer Indonesia dengan milter negara lain terjadi, seiring dengan huru-hara di kalangan masyarakat. Lalu, wilayah ini akan bernasib sama seperti negara-negara timur tengah dengan aneka macam tentara asing di dalamnya.

Jika sudah begini, orang-orang dalam lingkup terdekat secara alami akan membentuk sistem pertahanannya sendiri. Ronda di desa-desa akan digiatkan lagi selama 24 jam penuh demi memberi kabar ke orang-orang di dalamnya tentang potensi ancaman. Siapa tahu, di depan sana sebuah bom baru saja dijatuhkan dari pesawat berbendera asing. Sementara penduduk kota-kota mungkin akan mengungsi ke luar kota, ke wilayah yang dirasa jauh lebih aman. Di tempat lain, kelompok bersenjata mengobarkan perlawanan ke siapapun yang hendak menguasai bekas wilayah Indonesia.

Kemungkinan lain, akan ada pertikaian dan perselisihan antar kelompok warga. Mereka bisa saja berebut lahan untuk persembunyian, memaksa untuk bergabung ke kelompok lain, atau hendak menguasai RT atau desa lain demi bertahan hidup. Toh, mereka tidak perlu khawatir pada pasal KUHP dan polisi karena itu semua sudah tidak ada. Negara dan alat kelengkapannya telah bubar! Seleksi alam akan terjadi. Kelompok-kelompok kuat akan bisa bertahan, sementara mereka yang lemah dipaksa dan/atau terpaksa bergabung ke kelompok lain.

Ketika kelompok-kelompok terbentuk demi adaptasi bertahan hidup tanpa negara, di tengah aneka kekacauan, dan di tengah segala ketidakpastian, maka sebuah sistem baru secara alami pula akan hadir. Alami, demi kebutuhan dan kepentingan orang-orang di kelompok itu. Mereka perlu memikirkan perlindungan bagi anggotanya, sumber daya untuk bertahan hidup, dan aturan-aturan dalam kelompok.

Secara alami pula, kelompok atau koloni itu akan punya struktur masing-masing. Akan ada alpha alias pemimpin di sana, seksi keamananan, petugas penegak peraturan, dan aneka hal lain. Mirip-mirip dengan sebuah organisasi. Institusi negara yang tadinya melingkupi wilayah sangat luas telah berganti dengan koloni-koloni kecil itu. Entah melingkupi satu desa, kecamatan, atau kabupaten.

Lantas, siapa yang akan mengisi posisi-posisi itu? Semua itu tergantung pada kekuatan orang-orang di kelompok tersebut. Jika kebetulan saja, ada banyak aktivis muda di suatu koloni, kemungkinan besar mereka akan bisa merebut sistem pengambilan keputusan dan membawa koloni itu sesuai idealisme khas aktivisme sosial dengan aneka pembaruan di dalamnya. Kesetaraan sosial, hierarki kekuasaan yang tidak kaku, atau bahkan konsep tanpa pemimpin tersentral akan mereka hadirkan.

Namun jika di sebuah koloni kekuatan besar dipegang orang-orang feodalistik, maka sangat mungkin sistem di koloni itu sama akan sama saja. Pemimpin terpilih kemungkinan besar adalah bekas pejabat sebelumnya. Sementara bekas anggota militer diserahi tanggung jawab bidang keamanan. Mungkin pula, mereka yang dahulu bersikap oportunis bisa lebih leluasa mengeruk keuntungan. Lalu, orang-orang biasa dan rakyat kecil akan tetap jadi rakyat kecil di koloni itu.

Jika sudah begini, maka sistem politik akan kembali terbentuk di koloni-koloni itu. Sebab, salah satu definisi politik adalah sebuah cara untuk mencapai tujuan tertentu. Maka, sebuah sistem baru demi bertahannya aneka kelompok itu adalah hal mutlak. Beberapa tahun setelah negara bubar, koloni-koloni akan butuh wilayah lebih luas untuk menampung anggota kelompok, dana untuk membangun semua fasilitas, dan butuh pengorbanan dari masing-masing anggota kelompok. Sebab, tiada lagi dana bantuan pemerintah karena negara pun sudah lama bubar. Di titik inilah, sebuah sistem politik kembali muncul dan digunakan.

Lantas, dari mana koloni itu membiayai segala hal di dalamnya? Gambaran paling sederhana tentu saja dari para anggotanya. Jika dahulu saat Indonesia masih ada dikenal aneka macam pajak, maka koloni-koloni itu juga akan menerapkan hal yang sama, hanya saja dengan nama berbeda. Bisa disebut iuran, urunan, atau dana wajib tetapi intinya itu adalah pungutan. Opsi kedua adalah pemanfaatan sumber daya di wilayah koloni itu. Kebun-kebun kosong mungkin akan diakuisisi oleh pengurus koloni. Entah untuk diurus bersama, dijual ke koloni lain, atau digusur untuk membangun pemukiman.

Pada akhirnya, koloni dan kelompok-kelompok itu menjadi sebuah negara kecil di bekas negara besar bernama Indonesia. Kelak, seiring berjalannya waktu, aneka dinamika dan masalah pun akan mutlak muncul. Entah itu korupsi oleh pengurus koloni, konflik antar anggota koloni, atau konflik dengan koloni lain.

***

“Bagaimana, jadi membubarkan negara tidak?” tanya saya kemudian ke perempuan muda itu.

“Hmmm, kok sama saja ya sepertinya? Kita membubarkan negara tapi akhirnya masuk ke sistem negara dalam bentuk lainnya?”

Pandangan matanya menerawang jauh. Mungkin ia membayangkan kemungkinan-kemungkinan lain andai negara ini benar-benar bubar. Atau mungkin, ia mengkhayal bisa menjadi pemimpin koloni jika idenya soal pembubaran negara terjadi suatu hari nanti.

“Ya sudah, lah. Jangan bubarin dulu negaranya, sepertinya nanti kita malah repot sendiri. Bisa-bisa keluar dari mulut buaya ke mulut harimau,” ujarnya sambil terkekeh. Sementara itu, saya masih membayangkan, jika negara benar-benar bubar, akan jadi apa para pejabat korup di Indonesia sekarang? Apakah mereka akan membuat negara sendiri sehingga bebas berbuat sesuka hati?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image