REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktivis buruh Jumhur Hidayat meyakini vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) terhadap kasusnya turut menentukan masa depan kebebasan berpendapat warga yang dijamin oleh ketentuan perundang-undangan. Oleh karena itu, Jumhur berharap, majelis hakim dapat berpikir jernih sehingga kasus itu dapat diputus secara adil.
"Saya tetap berpendirian bahwa ketukan palu hakim bukan semata-mata mengadili saya dan teman-teman senasib di seantero negeri, melainkan mengadili kebebasan berpendapat yang sesungguhnya telah dijamin dalam konstitusi UUD 1945," tutur Jumhur sebagaimana dikutip dari pesan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Kamis (11/11).
Baca: Peneliti Australia: Demokrasi Turun Sebab Pemerintah Sendiri
Jumhur, yang hadir di ruang sidang Oemar Seno Adji PN Jaksel, ditemani istrinya pun memohon doa kepada sahabat dan rekan-rekan sejawatnya agar majelis hakim menjatuhkan vonis bebas terhadap dirinya. Majelis hakim, yang dipimpin oleh Hapsoro Widodo bersama dua hakim anggota, yaitu Nazar Effriadi dan I Dewa Made Budi Watsara, menunda pembacaan vonis pada dua pekan lalu (28/10).
Hapsoro menyampaikan, majelis hakim perlu mendalami pemikiran dan pertimbangan dari Agus Widodo yang sempat menjabat sebagai hakim ketua sebelum ia dimutasi ke Pontianak, Kalimantan Barat, pada Juni 2021. Jumhur selaku petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dan mantan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, dijerat kasus pidana.
Hal itu, setelah ia mengkritik Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja di akun Twitter pribadinya @jumhurhidayat pada 7 Oktober 2020. Jumhur menulis, "UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTORS dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BERADAB ya seperti di bawah ini: 35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja. Klik untuk baca: kmp.im/AGA6m2".
Dalam cuitannya, Jumhur mengutip tautan (link) berita berjudul "35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja". Akibat cicitan itu, kepolisian menangkap dan menahan Jumhur di Rumah Tahanan Bareskrim Polri pada 16 Oktober 2020.
Namun pada 6 Mei 2021, majelis hakim mengabulkan permohonan kuasa hukum untuk menangguhkan masa penahanan Jumhur, karena beberapa pertimbangan. Di antaranya, ia masih memiliki anak yang masih balita dan juga dijamin oleh 17 tokoh masyarakat. Dengan demikian, Jumhur telah mendekam di tahanan Bareskrim selama kurang lebih tujuh bulan.
Baca juga : Pemerhati Politik: Tuduhan Erick Bisnis PCR tak Masuk Akal