REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Hakim memvonis aktivis Jumhur Hidayat dengan hukuman 10 bulan penjara dalam kasus penyebaran kabar dan informasi tidak benar terkait Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Meski divonis bersalah dan dihukum penjara, namun majelis pengadilan menyatakan aktivis Kesatuan Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) itu tak perlu dilakukan penahanan.
"Menyatakan terdakwa, Mohammad Jumhur Hidayat terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana menyiarkan kabar yang tidak lengkap," ujar Ketua Majelis Hakim, Hapsoro Restu Widodo, saat membacakan putusan di PN Jaksel, pada Kamis (11/11).
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan, atas penyebaran kabar tak lengkap itu, Jumhur dianggap mengeri, perbuatannya itu, dapat memunculkan keonaran di kalangan masyarakat umum. "Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa Mohammad Jumhur Hidayat dengan pidana penjara selama 10 bulan," sambung Hakim Hapsoro dalam putusan.
Putusan pemenjaraan tersebut, dikatakan hakim, dikurangi dengan masa penahanan. Karena Jumhur sebelumnya sudah sempat menjalani penahanan, hakim pun menyatakan agar Jumhur tak perlu lagi digelandang ke sel tahanan.
"Menetapkan pidana penjara, dikurangi masa penahan. Menetapkan terdakwa, tidak ditahan," ujar Hakim Hapsoro.
Vonis dan hukuman terhadap Jumhur ini, sebetulnya lebih ringan dari tuntutan. Jaksa Penuntut Umum (JPU), saat penuntutan, meminta hakim pengadilan menghukum Jumhur, selama tiga tahun penjara. JPU, dalam penuntutan, mengacu pada tuduhan dalam dakwaan terhadap Jumhur yang menguatkan sangkaan berlapis.
Pada dakwaan primer pertama, JPU menjerat Jumhur dengan sangkaan Pasal 14 ayat (1) juncto Pasal 15 KUH Pidana. Adapun dalam dakwaan kedua, JPU menebalkan pemberatan menggunakan Pasal 45 A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (IT) 19/2016.
Semua dakwaan tersebut, terkait dengan pernyataan Jumhur lewat media sosial (medsos) Twitter, yang menyatakan UU Omnibus Law, atau yang sekarang sudah disahkan menjadi UU Cipta Kerja, menjadikan rakyat Indonesia sebagai bangsa kuli, dan terjajah. Cuitan bertanggal 7 Oktober 2020, itu juga menuliskan tentang ungkapan-ungkapan yang bernada rasisme.
Kepolisian menyatakan aksi Jumhur tersebut sebagai perbuatan pidana. Atas cuitannya itu, Jumhur yang juga pernah menjabat sebagai Kepala BNP2TKI itu, ditangkap kepolisian di kediamannya di bilangan Jakarta Selatan dan ditetapkan sebagai tersangka, pada 13 Oktober 2020.
Kepolisian, pun menahannya di Rutan Bareskrim Polri. Ketika kasusnya itu naik sidang, pada 5 Mei 2021, majelis hakim mengabulkan permohonan ratusan aktivis yang meminta, dan memberikan jaminan agar Jumhur dibantarkan dari penahanan.