Menyibak Faktor dan Potensi Banjir Bandang di Kota Batu
Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Yusuf Assidiq
Citra satelit hulu Kota Batu setelah mengalami banjir bandang. | Foto: Dok. Perum Jasa Tirta
REPUBLIKA.CO.ID, BATU -- Belum lama ini, bencana banjir bandang telah meluluhlantakkan sejumlah wilayah di Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Bencana ini menimbulkan puluhan rumah rusak dan tujuh orang meninggal dunia.
Berbagai kajian mengenai pemicu banjir pun mulai bermunculan. Dimulai karena hujan deras, sumbatan di kali mati, alih fungsi lahan sampai bekas kebakaran hutan pada 2019 lalu. Terlepas dari itu, berbagai langkah antisipasi harus mulai dilakukan agar peristiwa serupa tidak terulang kembali.
Direktur Utama (Dirut) Perum Jasa Tirta (PJT) I, Raymond Variant Ruritan mengungkapkan, peristiwa banjir bandang di Kota Batu dilatarbelakangi berbagai faktor. "Jadi kombinasi mengapa bencana itu terjadi. Pertama, karena faktor alami di permukaan tanah. Kemudian juga hujan, dan saya kira juga kondisi dari alur di mana banjir tersebut lewat," kata Raymond kepada wartawan di Kota Batu, Kamis (11/11).
Berdasarkan hasil foto udara mengenai kondisi hulu sungai, sebagian besar kawasan tersebut sudah dibudidayakan untuk kegiatan masyarakat. Hal ini berarti sudah ada perubahan tata ruang di lokasi tersebut. Kondisi ini dinilai menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir bandang di Kota Batu.
Raymond berharap ada upaya sinergitas untuk mengantisipasi bencana serupa. Apalagi pihaknya menemukan pematus alami lainnya yang bisa menimbulkan banjir bandang. Potensi ini akan semakin besar apabila ada penumpukan sedimen di lokasi. Kemudian ditambah lagi dengan adanya perubahan tata ruang di hulu sungai.
"Kalau ini dikombinasikan dengan hujan yang cukup deras, kemudian aliran permukaan membawa serasah, kayu dan sebagainya, tidak menutup kemungkinan bencana bandang semula dapat terulang tapi pada alur pematus lain," ungkapnya.
Menurut dia, pematus alami lain yang bisa menjadi pemicu banjir bandang terletak di bawah blok Glagah Wangi. Lokasi ini berada di sebelah barat dari pematus alami di Pusung Lading. Pusung Lading sendiri merupakan tempat yang menjadi sumber aliran banjir bandang beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, PJT I sempat mengamati luas tutupan lahan di bagian hulu Brantas pada musim kemarau sekitar tiga sampai empat tahun lalu. Berdasarkan hasil citra satelit, luas tutupan lahan yang berisi tanaman tegakan berkisar 19 hingga 25 persen. Temuan ini sangat berbeda jauh dengan persentase ideal sekitar 30 persen.
Melihat situasi tersebut, Raymond menilai, kewaspadaan memang perlu ditingkatkan lagi ke depannya. Selain itu, juga harus ada upaya mengurangi perubahan tata guna lahan secara bertahap. "Artinya, ini memerlukan upaya yang tidak bisa dilakukan hanya dalam satu hari saja," kata dia menambahkan.