Kamis 11 Nov 2021 17:56 WIB

Hotovely, Dubes yang Mimpi Kibar Bendera Israel di Al Aqsa

Kehadiran Hotovely saat diskusi di London School of Economicy tuai protes.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Teguh Firmansyah
Dubes Israel untuk Inggrsi Tjipi Hotovely.
Foto: Kedubes Israel di Inggris.
Dubes Israel untuk Inggrsi Tjipi Hotovely.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Sosok Duta Besar Israel untuk Inggris Tzipi Hotovely menarik perhatian publik usai pergi dengan pengamanan ketat dari London School of Economics pada Selasa (9/11) malam. Kehadirannya di kampus itu mendatangkan protes mahasiswa dan aktivis Pro-Palestina yang menyorot jejak dan pandangan politiknya yang radikal.

Anggota Asosiasi Pengacara Israel ini terpilih sebagai anggota Knesset di partai Likud Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada 2008. Kemudian menjadi wakil menteri luar negeri pada 2015.

Baca Juga

Hotovely telah lama disebut sebagaii suara ideologis dari  Partai Likud. Dia memimpin kampanye untuk melatih diplomat Israel untuk membela pemukiman Israel, mencela undang-undang yang menghentikan penahanan ilegal pengungsi Afrika, dan mengatakan mimpinya adalah melihat bendera Israel berkibar di atas Temple Mount.

Pada Oktober 2015, saat meningkatnya ketegangan di Temple Mount, Hotovely mengatakan kepada Knesset TV bahwa impiannya adalah melihat bendera Israel berkibar di atas Temple Mount. Pandangannya memicu ketegangan dengan Muslim karena mengklaim Kompleks Al- Aqsa tersebut sebagai tempat paling suci bagi orang Yahudi.

Ketika menjadi wakil menteri luar negeri pada 2015, Hotovely mengatakan bahwa kebijakan luar negeri Israel harus fokus pada kebenaran, bukan hanya pada kecerdasan. "Penting untuk mengatakan [bahwa] tanah ini milik kita. Semua itu milik kita. Kami tidak datang ke sini untuk meminta maaf untuk itu," ujarnya seperti dilansir dari Haaretz.

Hotovely pun menghadiri protes pada 2016 yang menyerukan Israel untuk memperluas kedaulatannya atas permukiman di wilayah Yerusalem. Desakan ini setelah UNESCO gagal mengakui hubungan Yerusalem dengan orang-orang Yahudi.

"Ada pertempuran internasional atas Yerusalem. Beberapa orang berpikir bahwa jawaban kepada UNESCO [yang mengeluarkan resolusi tahun lalu yang mengabaikan hubungan Yahudi dengan Temple Mount] harus dibatasi pada bagian hubungan masyarakat. Tetapi ada jawaban yang lebih kuat kedaulatan. Kedaulatan atas Ma'aleh Adumim adalah pernyataan bahwa Yerusalem akan tetap bersatu," kata Hotovely.

Selain masalah Palestina dan klaim keunggulan Israel, Hotovely pun pernah menyinggung tentang pengungsi Afrika. Dalam putusan September 2017, pengadilan tinggi Israel melarang penahanan tak terbatas terhadap pengungsi Afrika tanpa pengadilan.

Sebagai tanggapan, Hotovely menjelaskan bahwa masalah ada pada keputusan itu sendiri. Pengadilan Tinggi menyetujui perjanjian yang dibuat Kementerian Luar Negeri dengan negara-negara yang bersedia menerima pengungsi.

"Itu sepenuhnya menyetujui gagasan bahwa negara berdaulat dapat memutuskan siapa yang akan tinggal di wilayahnya dan siapa yang tidak, dan bahwa negara bagian dapat mendeportasi orang ke negara bagian ketiga. Di mana masalahnya? Pengadilan Tinggi merampas satu-satunya alat yang membantu kami mendeportasi mereka: penahanan," kata Hotovely saat itu.

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement