Senin 15 Nov 2021 06:09 WIB

Demokrasi Menjadikan Tatanan Politik yang Berkeadaban

Netralitas politik Muhammadiyah yang bersifat aktif menjadi sangat penting

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Demokrasi Menjadikan Tatanan Politik Yang Berkeadaban - Suara Muhammadiyah
Demokrasi Menjadikan Tatanan Politik Yang Berkeadaban - Suara Muhammadiyah

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) Kabupaten Dumai, Provinsi Riau mengadakan Morning Talk dengan mengangkat tema “Peran Kader Muhammadiyah dalam Penyelenggaraan Demokrasi di Indonesia”.

Acara tersebut menghadirkan Direktur Suara Muhammadiyah, Deni Asy’ari, MA, Ketua Bawaslu Prov. Riau Rusidi Rusdan, S.Ag., M.Pd.I, Komisioner KPU Prov. Riau Nugroho Noto Susanto, S.IP, Pimpinan Bawaslu Kota Dumai Agustri, S.H.I., M.E.Sy, Ketua KPU Kab. Pesisir Barat Prov. Lampung Marlini, S.HI., MA, dan Pimpinan Bawaslu Kab. Kampar Edwar, SS., M.IP.

Direktur Suara Muhammadiyah, Deni Asy’ari, MA dalam sambutannya mengatakan bahwa pandangan Muhammadiyah di dalam konteks politik atau terhadap demokrasi itu tentu sudah termaktub di dalam Khittah Muhammadiyah tahun 2002 yang difomulasikan di Tanwir Muhammadiyah Bali yang menjadikan arena politik atau perjuangan politik kebangsaan, Kamis (11/11).

“Adapun roses-proses demokrasi di tanah air ini sebagai sesuatu cara dan strategi yang positif dimata Muhammadiyah, dan Muhammadiyah melihat proses politik maupun demokrasi ini sebagai mualah duniawiah yang tentu dengan tujuan hadirnya sistem pemerintahan demokrasi yang adil, berkeadaban, serta mampu menghadirkan kemaslahatan keumatan secara bersama dan sesuai tentunya dengan agama kita,” tuturnya.

Maka bagi Muhammadiyah proses demokrasi sesungguhnya ialah bagian jihad mujahadah jadi ada kelompok-kelompok tertentu sebagaian masyarakat yang tidak bisa melihat konsep demokrasi sebagai satu sistem dan nilai bagi pemerintahan atau bangsa yang kemudian melahirkan pola-pola.

“Dengan arti mereka melakukan sebuah jihad yang bersifat reaksioner untuk menolak proses-proses demokrasi sehingga memunculkan kekerasan-kekerasan politik dan sebagainya,” imbuh Deni.

Menurutnya Muhammadiyah melihat demokrasi ini menjadi bagian alternatif yang solutif untuk mewujudkan tatanan sistem pemerintahan dan politik yang berkeadaban, maka dari itu Muhammadiyah melihat demokrasi dan proses-prosesnya sebagai sesuatu cara-cara yang positif untuk membangun tatanan kehidupan masyarakat.

“Kemudian walaupun Muhammadiyah berpandangan positif terhadap praktik-praktik politik dan demokrasi tetapi Muhammadiyah sebagaimana khittah di tahun 2002 itu. Muhammadiyah juga bersifat netral terhadap kekuatan-kekuatan politik praktis, yaitu tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisaturis dengan kekuatan-kekuatan politik organisasi atau figur-figur tertentu,” ungkapnya.

Deni pun menjelaskan bahwa netralitas politik Muhammadiyah yang bersifat aktif artinya Muhammadiyah itu menjalin komunikasi dan hubungan yang sama serta menjaga jarak yang sama dengan kekuatan-kekuatan organisasi-organisasi politik maupun para figur-figur politik yang ada dan ini bagian dari netralitas Muhammadiyah yang kita sebut netralitas aktiv. Dalam konteks ini dengan konsep netralitas Muhammadiyah bisa saja masuk dalam urusan-urusan politik jika poltik sudah masuk ke dalam rumah Muhammadiyah atau politik masuk dalam urusan-urusan yang mendesak kepentingan umat Islam.

“Seperti yang di sampaikan oleh Prof. Haedar Nashir Muhammadiyah akan memainkan cara berpolitk dengan semampunya oleh karena itu dalam konteks netralitas politik ini juga sudah digaris bawahi sebelumnya bahkan sebelum tanwir di bali sebagaimana yang juga di sampaikan Prof. Ahmad Sabihi Muarif bahwa Muhammadiyah memang terlahir atau dilahirkan bukan untuk organisasi dan kepentingan poltik praktis tetapi Muhammadiyah hadir dan dilahirkan untuk kepentingan gerakan sosial kemasyarakatan, dan tentu ini juga menjadi salah satu kekuatan Muhammadiyah di dalam konteks keberlangsungannya hingga hari ini,” ungkap Deni.

Dalam konteks ini Muhammadiyah menjadikan gerakan organisasi sebagai relasinya dengan partai politik atau organisasi politik yang bersikap netral tetapi dalam konteks pembangunan bangsa secara luas termasuk dalam proses penyelenggaraan demokrasi Muhammadiyah memiliki pemikiran bahwa proses demokrasi atau pemilu itu bukanlah sekedar ritual politik suksesi kepemimpinan belaka.

Oleh karena itu Muhammadiyah berpandangan proses-proses pemilu ini merupakan proses-proses yang sangat strategis sebagai cara dan jalan menghadirkan demokrasi yang substantif dan mengakhiri masa transisi demokrasi sehingga terwujudnya masa konsolidasi demokrasi.

Maka dalam proses ini untuk mewujudkan proses konsulidasi demokrasi, Muhammadiyah mendukung kerjasama maupun partisipasi aktif dengan semua pihak golongan intitusi berdasarkan prinsip kebajikan, kemaslahatan dan menjauhi kemudaratan yang artinya Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada warga dan kadernya untuk berpatisipasi dalam peran-peran politik berbangsaan sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar.

Menurut Ketua Bawaslu Prov. Riau Rusidi Rusdan, S.Ag., M.Pd.I ketika berbicara peran kader Muhammadiyah maka kita bisa terlepas dari peran atau peranan aktualisasi dari tokoh-tokoh Muhammadiyah di dalam ber-Muhammadiyah dan bernegara. (izza/riz)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement