Kamis 11 Nov 2021 20:24 WIB

Saran MUI untuk Permendikbudristek: Cabut atau Revisi

MUI menilai frasa tanpa persetujuan korban bertentangan dengan syariat

Rep: Fuji E Permana/ Red: Nashih Nashrullah
Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh saat konferensi pers pada penutupan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-VII di Jakarta, Kamis (11/11).
Foto: dok. Istimewa
Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh saat konferensi pers pada penutupan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-VII di Jakarta, Kamis (11/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-VII telah selesai dilaksanakan di Hotel Sultan Jakarta pada 9-11 November 2021. Salah satu rekomendasi yang dihasilkan dari ijtima ulama bertema 'Optimalisasi Fatwa untuk Kemaslahatan Bangsa' ini menyarankan pemerintah mencabut Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudistek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi atau setidaknya merevisi.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh, mengatakan, berkenaan dengan Permendikbudistek Nomor 30 Tahun 2021, ijtima ulama menyampaikan hal-hal sebagai berikut. Pertama, MUI mengapresiasi niat baik dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem untuk melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.  

Baca Juga

"Namun demikian, Permendikbudistek Nomor 30 Tahun 2021 telah menimbulkan kontroversi karena prosedur pembentukan peraturan dimaksud tidak sesuai dengan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah UU Nomor 15 Tahun 2019 dan materi muatannya bertentangan dengan syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, peraturan perundangan-undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia," kata Kiai Asrorun saat konferensi pers pada penutupan ijtima ulama yang digelar Komisi Fatwa MUI, Kamis (11/11).

Dia menerangkan, ketentuan-ketentuan yang didasarkan pada frasa 'tanpa persetujuan korban' dalam Permendikbudistek Nomor 30 Tahun 2021 bertentangan dengan nilai syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, peraturan perundangan-undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. 

Ketentuan-ketentuan yang dikecualikan dari frasa 'tanpa persetujuan korban' dalam Permendikbudistek Nomor 30 Tahun 2021 terkait dengan korban anak, disabilitas, situasi yang mengancam korban, di bawah pengaruh obat-obatan, harus diterapkan pemberatan hukuman.

Kiai Asrorun mengatakan, maka meminta kepada pemerintah agar mencabut atau setidak-tidaknya mengevaluasi atau merevisi Permendikbudistek Nomor 30 Tahun 2021 dengan mematuhi prosedur pembentukan peraturan. Sebagaimana ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 yang telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019. 

Dia menegaskan, di samping itu, materi muatan permendikbudistek tersebut wajib sejalan dengan syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, peraturan perundangan-undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. 

Untuk diketahui, Permendikbudistek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, pada Pasal 5. Dijelaskan, (1) Kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, non fisik, fisik, dan/ atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. (2) Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi poin (A) sampai (U). 

Pasal 5 Poin (B) memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban. Pasal 5 Poin (F) mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban. 

Pasal 5 Poin (H) menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban. Pasal 5 Poin (J) membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban. 

Pasal 5 Poin (L) menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban. Pasal 5 Poin (M) membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement