REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Seorang tahanan Palestina yang mogok makan selama 113 hari pada Kamis (11/11) menghentikan aksinya. Tahahan itu berhenti mogok setelah Israel sepakat untuk tidak melanjutkan penahanannya tanpa sidang pada Februari mendatang. Demikian disampaikan pejabat Palestina.
Pada awal pekan ini ibu dari Miqdad al-Qawasmi mencurahkan kekhawatiran tentang nyawa anaknya setelah kondisinya memburuk. Pejabat Palestina mengatakan, Qawasmi menolak makanan dan hanya meminum air garam, vitamin dan obat-obatan dari dokter Israel.
"Pria berusia 24 tahun itu ditangkap pada Januari dan kini bobot Qawasmi berkurang hampir separuhnya sejak Juli," kata pihak keluarga.
"Sebuah kesepakatan telah dicapai untuk membebaskan tahanan pahlawan Miqdad al-Qawasmi pada Februari mendatang," kata direktur Kantor Media Tahanan Palestina Nahid Fakhouri menambahkan.
Menurut Fakhouri, Qawasmi menyudahi aksi mogok makannya dan kini sudah bisa makan lagi. Namun soal jenis makanan apa saja yang bisa dikonsumi semua akan tergantung dokter mengacu pada kondisi kesehatannya.
Pejabat Palestina lainnya dari Asosiasi Tahanan Palestina menyebutkan bahwa pembebasan pada Februari bertepatan dengan berakhirnya masa penahanan administratif Qawasmi yang tidak akan diperpanjang.
Juru bicara Otoritas Penjara Israel membenarkan bahwa Qawasmi telah mengakhiri aksi mogok makannya. Lima warga Palestina lainnya yang ditahan tanpa persidangan juga melakukan mogok makan.
Israel bisa menangkap warga Palestina yang mereka anggap sebagai tersangka hingga 60 hari tanpa dakwaan dan memperpanjang masa tahanan dengan persetujuan pengadilan. PBB dan Uni Eropa mengkritik praktiik tersebut.
Petugas keamanan Israel menyebutkan bahwa penahanan administratifnya berdasarkan laporan intelijen yang diajukan ke pengadilan tentang keterlibatannya dalam kegiatan terkait kelompok Islam Palestina Hamas.
Juru bicara Hamas Hazem Qassem menyanjung kesepakatan itu sebagai sebuah kemenangan. Ada sekitar 500 warga Palestina yang kini ditahan di penjara Israel di bawah penahanan administratif. Sementara itu, Israel bungkam soal jumlah warga Palestina yang telah mereka tangkap.
Tuai kecaman
Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri dan Ekspatriat Palestina mengecam keras atas praktik keji Israel yang melakukan penahanan administratif sebagai alat represi terhadap warga Palestina. Praktik tersebut telah dilakukan Israel selama setengah abad terakhir.
"Selama setengah abad terakhir, Israel secara tidak sah memenjarakan hampir 60 puluh ribu pria dan wanita Palestina di bawah penahanan administratif, memasukkan mereka ke penjara tanpa tuduhan atau pengadilan untuk jangka waktu yang berbeda-beda," kata Kemenlu Palestina dalam sebuah pernyataan, dilansir Wafa, Kamis (2/9).
Salah satu contohnya adalah kasus Anhar Al-Deek, yang telah dipenjara secara ilegal selama lima bulan. Ini adalah pengingat yang jelas akan kebrutalan dan tidak manusiawi dari praktik ilegal Israel tersebut. "Setelah memasuki bulan terakhir kehamilannya di dalam penjara Israel, Anhar dapat dipaksa untuk melahirkan anaknya di dalam penjara dan tanpa perawatan kesehatan yang memadai. Ini kejam dan tidak dapat diterima," kata pernyataan tersebut.
Kemenlu Palestina juga mengecam kekuatan pendudukan Israel yang terus melakukan pelanggaran hukum internasional dan hak-hak rakyat Palestina yang tidak dapat dicabut, termasuk hak mereka atas kebebasan, keadilan, dan penentuan nasib sendiri.
Hal itu karena kegagalan total masyarakat internasional untuk meminta pertanggungjawaban Israel atas pelanggarannya yang mengerikan. Kegagalan kolektif internasional ini telah memungkinkan Israel, di antara kejahatan lainnya, menghancurkan kehidupan dan hak-hak puluhan ribu warga Palestina yang menjadi korban dan dianiaya melalui penahanan administratif.
"Negara Palestina memperbarui seruannya pada semua aktor internasional, termasuk Komite Internasional Palang Merah, untuk mendorong pembebasannya segera dan bekerja untuk mengakhiri praktik mengerikan ini untuk selamanya," demikian disampaikan pernyataan itu.