REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah merampungkan agenda Ijtima Ulama Komisi Fatwa pada Kamis (11/11). Proses musyawarahnya mengedepankan kemaslahatan umat dan bukan bersifat personal baik egois maupun fanatik sempit.
"Perdebatan ide, gagasan yang justru menguatkan dan mengukuhkan, serta meneguhkan ukhuwah dan juga kebersamaan di antara kita," ujar Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam dalam keterangan tertulis yang diterima dari Jakarta, Jumat (12/11).
Ijtima Ulama ke-7 Komisi Fatwa MUI ini telah menyepakati 12 poin bahasan. Poin-poin bahasan tersebut, yakni makna jihad, makna khilafah dalam konteks NKRI, kriteria penodaan agama, tinjauan pajak bea cukai, dan retribusi untuk kepentingan kemaslahatan.
Kemudian, panduan pemilu dan pemilukada yang lebih bermaslahat bagi bangsa, dan distribusi lahan untuk pemerataan dan kemaslahatan. Lalu, mengenai hukum pinjaman online, hukum transplantasi rahim, hukum cryptocurrency, penyaluran dana zakat dalam bentuk qardhun hasan, hukum zakat perusahaan, dan hukum zakat saham.
"Ini hal yang patut kita syukuri bahwa musyawarah didasarkan kepada ide, ilmu, dan hikmah akan saling menguatkan dan mengokohkan," kata dia.
Anggota Bidang Fatwa MUI DKI Jakarta yang juga pengurus DPP LDII Aceng Karimullah mengatakan perbedaan pendapat dalam musyawarah ijtima ulama MUI merupakan hal yang biasa. Menurut Ketua Departemen Pendidikan, Keagamaan, dan Dakwah LDII itu, persatuan tetap harus dikedepankan, diperjuangkan, dan dirawat dengan berbagai ikhtiar dari setiap unsur demi kemaslahatan bersama.
"Yang perlu ditanamkan, jangan saling menghina atau mencaci karena itu semua ijtihad ulama yang sudah ada dalilnya. Jangan melihat juga asal mereka dari mana, toh sudah berikrar Bhinneka Tunggal Ika. Silakan melestarikan budaya masing-masing, namun ketika sudah bertemu meski agama berbeda, yang dituju hanya persatuan dan kesatuan," kata dia.