AMPPY: Hampir Semua Sekolah di DIY Terapkan Pungli
Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Fernan Rahadi
Pungli di Sekolah (ilustrasi) | Foto: ANTARA FOTO
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pungutan liar (pungli) masih marak terjadi di sekolah-sekolah di DIY. Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY) menyebut, hampir semua sekolah di DIY masih menerapkan praktik pungli.
"Hampir semua sekolah di kabupaten/kota itu masih pungli, SD, SMP, SMKA/SMK, masih ada (pungli) di bawah satu juta (per tahun)," kata Anggota AMPPY, Yuliani kepada Republika melalui sambungan telepon, Kamis (11/10) malam.
Praktik pungli ini masih dilakukan sekolah pada saat penyelenggaraan pendidikan sudah dibantu dengan dana bantuan operasional sekolah (BOS) dari APBN dan APBD. Bahkan, berdasarkan data AMPPY, rata-rata APBN dan APBD yang disalurkan ke sekolah-sekolah ini hanya terserap 50-60 persen.
Artinya, masih ada dana yang belum terserap. Sementara, sekolah-sekolah masih menerapkan praktik pungli yang memberatkan siswa dan orang tua.
Yuliani mengatakan, pungutan sudah tidak diperbolehkan sejak 2017. Namun, tiap tahun sekolah masih melakukan pungutan dengan kedok sumbangan yang wajib dan jumlahnya ditetapkan sendiri oleh sekolah.
"Alasannya banyak kepsek yang sudah pensiun saya tanya, tidak bisa pakai itu (memaksimalkan APBN dan APBD) karena kalau (pungutan) dari orang tua tidak perlu pakai laporan, enak banget ngomong seperti itu. Kalau dia memaksimalkan itu, tidak ada kata kurang. SMA saja misalnya, tiap anak itu sudah dibantu BOS pusat dan APBD Rp 3,5 juta per tahun dan untuk SMK itu totalnya Rp 4 juta," ujarnya.
Yuliani menjelaskan, alasan sekolah masih menerapkan pungli dikeranakan untuk menggaji guru yang diangkat sendiri oleh sekolah. Padahal, katanya, kesejahteraan guru merupakan tanggung jawab negara yang seharusnya tidak dibebankan kepada orang tua.
Bahkan, sekolah juga tidak diperbolehkan untuk mengangkat guru. Pasalnya, hanya pemerintah yang diperbolehkan melakukan pengangkatan guru melalui dinas pendidikan.
"Saya tanya sekolah, kalau kamu mengangkat guru landasan (hukumnya) apa kalau itu dibebankan ke orang tua dan dinas bilang sudah tidak diperbolehkan, yang boleh mengangkat guru itu pemda lewat Disdikpora (DIY), (alasan sekolah) mengada-ada," jelas Yuliani.
Parahnya, masih ada sekolah yang melakukan penahanan ijazah bagi siswa yang belum membayar lunas pungutan yang ditetapkan sekolah. Pihaknya mendapatkan pengaduan penahanan ijazah ini juga terjadi di banyak sekolah di DIY.
Berdasarkan data yang sudah dihimpun AMPPY, masih ada sekitar 1.300 siswa di jenjang pendidikan SMA/SMK yang ijazahnya masih ditahan sekolah. Yuliani bahkan juga mendapatkan data penahanan ijazah oleh sekolah yang sampai tujuh tahun.
"Anak sekolah swasta yang tingkat SMP dan SD juga masih banyak yang ditahan. Swasta masih menahan saya yakin karena sekolah negeri juga masih nahan ijazah, swasta mencontoh sekolah negeri," tambahnya.
Sebelumnya, Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Kadarmanta Baskara Aji menegaskan, pungli oleh sekolah jelas dilarang. "Saya kira tidak boleh sekolah membebani masyarakat," kata Aji.
Aji menyebut, pembiayaan pendidikan terutama sekolah negeri sudah ditanggung oleh pemerintah. Dengan begitu, sekolah tidak diperkenankan untuk memungut biaya tambahan dari murid maupun orang tua.
"Gedung tidak boleh ada biaya yang sudah dibiayai oleh (dana) BOS. Ini antar sekolah negeri dan swasta berbeda, karena sekolah negeri itu sudah pakai APBD (juga)," ujar Aji.
Aji juga menyayangkan masih adanya sekolah yang membebani siswa dan orang tua dengan mewajibkan pembelian seragam di sekolah. Termasuk menahan ijazah bagi siswa yang belum menyelesaikan pembayaran pembiayaan pendidikan. "Apalagi saya mendengar ada yang menahan ijazah, tidak boleh itu," jelasnya.