REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Setelah ditemui sampai yang ketiga kalinya, baru Abu Thalib menemui keponakannya yang telah jadi Nabi dan Rasul. Abu Thalib sudah nampak keengganannya menuruti permintaan kaumnya di Quraisy.
Namun, demi keselamatan pribadi Nabi Muhammad dengan bijak Abu Thalib menemui Rasulullah, dalam pertemuan empat mata itu Abu Talib tidak meminta agar Rasulullah sudah dakwahnya. Akan tetapi hanya berkata saling menjaga diri.
"Muhammad menekur sejenak, menekur berhadapan dengan sebuah sejarah alam wujud ini," tulis Husen Haekal dalam bukunya Sejarah Muhammad.
Atas keadaan ini, sejarah yang sedang tertegun tak tahu hendak ke mana tujuannya. Dalam kata-kata yang kemudian menguntai dari bibir laki-laki itu adalah suatu keputusan bagi dunia.
Adakah dunia ini akan dalam kesesatan selalu dan terus dijerumuskan. Seperti datang Majusi menekan Kristen yang sudah gagal dan kacau, dan dengan demikian paganisma dengan kebatilannya itu akan mengangkat kepala yang sudah rapuk dan busuk.
Atau ia harus memancarkan terus sinar kebenaran itu, memproklamirkan kata-kata Tauhid, membebaskan pikiran manusia dari belenggu perbudakan, membebaskannya dari rantai ilusi dan mengangkatnya ke martabat yang lebih tinggi.
"Sehingga jiwa manusia itu dapat mencapai hubungan dengan Zat Maha Tinggi?"
Pamannya ini seolah sudah tak berdaya lagi membela dan memeliharanya. Ia sudah mau meninggalkan dan melepaskannya. Sedang kaum Muslimin masih lemah, mereka tak berdaya akan berperang, tidak dapat mereka melawan Quraisy yang punya kekuasaan, punya harta, punya persiapan dan jumlah manusia.
Sebaliknya dia tidak punya apa-apa selain kebenaran. Dan atas nama kebenaran sebagai pembelanya ia mengajak orang. Tak punya apaapa ia selain imannya kepada kebenaran itu sebagai perlengkapan.
Terserahlah apa jadinya! Hari kemudian itu baginya lebih baik daripada yang sekarang. Ia akan meneruskan misinya, akan mengajak orang seperti yang diperintahkan Tuhan kepadanya.
Lebih baik mati ia membawa iman kebenaran yang telah diwahyukan kepadanya daripada menyerah atau ragu-ragu. Karena itu, dengan jiwa yang penuh kekuatan dan kemauan, ia menoleh kepada pamannya seraya berkata.
“Paman, demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah yang akan membuktikan kemenangan itu ditanganku, atau aku binasa karenanya.”
"Ya, demikian besarnya kebenaran itu, demikian dahsyatnya iman itu!" kata Husen Haekal dalam Sejarah Muhammad.
Gemetar orang tua ini mendengar jawaban Muhammad, tertegun ia. Ternyata ia berdiri di hadapan tenaga kudus dan kemauan yang begitu tinggi, di atas segala kemampuan tenaga hidup yang ada.
Muhammad berdiri. Airmatanya terasa menyumbat karena sikap pamannya yang tiba-tiba itu, sekalipun tak terlintas kesangsian dalam hatinya sedikitpun akan jalan yang ditempuhnya itu.
Seketika lamanya Abu Thalib masih dalam keadaan terpesona. Ia masih dalam kebingungan antara tekanan masyarakatnya dengan sikap kemanakannya itu.
Tetapi kemudian dimintanya Muhammad datang lagi, yang lalu katanya:
“Anakku, katakanlah sekehendakmu. Aku tidak akan menyerahkan engkau bagaimanapun juga!”