REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Kudeta militer telah menyebabkan perekonomian Myanmar mengalami kemunduran. Kerusuhan dan kekerasan politik mengganggu perbankan, perdagangan, dan jutaan orang jatuh ke dalam kemiskinan.
Myanmar sudah berada dalam resesi ketika pandemi melanda pada 2020, dan melumpuhkan sektor pariwisata yang menguntungkan. Pergolakan politik setelah militer menggulingkan pemerintahan sipil pada 1 Februari, telah menambah kesengsaraan bagi sekitar 62 juta penduduk Myanmar. Harga pangan dan kebutuhan lain melonjak tajam, karena nilai mata uang kyat, yang merupakan mata uang nasional telah anjlok.
Kepala kemanusiaan PBB Martin Griffiths pekan lalu mengimbau para pemimpin militer Myanmar untuk mengizinkan akses tanpa hambatan bagi lebih dari 3 juta orang yang membutuhkan bantuan. Griffiths semakin khawatir tentang laporan meningkatnya tingkat kerawanan pangan di seluruh Myanmar. Ratusan ribu orang di negara itu kehilangan pekerjaan, dan terjerumus dalam kemiskinan karena inflasi Myanmar yang meroket.
”Makanan dan obat-obatan impor harganya dua kali lipat dari biasanya, sehingga orang hanya membeli apa yang mereka butuhkan. Dan ketika pedagang menjual barang seharga 1.000 kyat di hari itu, kemudian naik menjadi 1.200 kyat di hari berikutnya, itu berarti penjual merugi saat menjual,” kata seorang pedagang di Mawlamyne, Ma San San.
Menurut Asian Development Bank, ekonomi Myanmar diperkirakan menyusut 18,4 persen pada 2021. Ini merupakan salah satu kontraksi terdalam di suatu negara.