Ahad 14 Nov 2021 17:12 WIB

Lawan Kolonialisme: Kiprah Cendekiawan Muslim Asia Tenggara

Perjuangan Melawan Kolonialisme: Kontribusi Cendekiawan Muslim Asia Tenggara

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Serial Webinar 2 ‘Perjuangan Melawan Kolonialisme: Kontribusi Cendekiawan Muslim di Asia Tenggara - Suara Muhammadiyah
Serial Webinar 2 ‘Perjuangan Melawan Kolonialisme: Kontribusi Cendekiawan Muslim di Asia Tenggara - Suara Muhammadiyah

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Perjuangan untuk kemerdekaan bangsa-bangsa Melayu, Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia banyak melibatkan pahlawan sosok tokoh ulama yang ikut berjuang di dalamnya. Namun sepertinya peran besar tokoh ulama yang luar biasa ini tidak banyak banyak diketahui khalayak terutama kaum milenial yang akibatnya nama mereka begitu asing dalam khazanah perbendaharaan pengetahuan.

Hal inilah yang mendorong digelarnya serial webinar ‘Perjuangan Melawan Kolonialisme: Kontribusi Cendekiawan Muslim di Asia Tenggara’ oleh IIIT International Institute of Islamic Thought Malaysia yang digelar secara berseri dan Seri 1 diadakan pada hari Sabtu, 13 November 2021 dengan menggunakkan platform Zoom.

Menurut Shahran Kasim selaku Koordinator Kuliah Online IIIT

“ Penyelenggaraan webinar ini bertujuan untuk mengungkap perjuangan intelektual Muslim dalam upaya menjaga dan mengembangkan tradisi intelektual Islam dalam upaya menghadapi tantangan era kolonial dan dan pasca kolonial. Perjuangan dan cita-cita para intelektual Muslim tersebut menjadi krusial untuk terus dipelajari secara intens dan kemudian direvitalisasi sedemikian rupa sebagai basis membangun kembali masyarakat kontemporer kita saat ini”.

Acara webinar dibuka dengan sambutan dari Ustaz Prof.DR.KH. M. Habib Chirzin, Perwakilan IIIT Indonesia dan Assoc. Prof. Dr. Ismail Lutfi Japakiya, Rektor Fatoni University.

Dalam kesempatan ini Prof. M. Habib Chirzin menyampaikan bahwa pada 18 November 2021 Muhammadiyah memperingati Milad yang ke 109 dan 18-20 November 2022 akan digelar Muktamar 48 Muhammadiyah di kampus UMS Surakarta. “ KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah adalah seorang muslim yang mukhlis, mujtahid yang melakukan tajdid dan islah dalam kehidupan keIslaman dengan membawa impact yang begitu luas terhadap perubahan sosial di Indonesia modern, tidak bisa dibayangkan Indonesia modern tanpa adanya Muhammadiyah ”.

Acara dilanjutkan dengan Presentasi 1 tentang KH Ahmad Dahlan oleh Assoc. Prof. Dr. Muhamad Abdul Fattah Santoso UMS Solo dan Presentasi 2 tentang perjuangan Syaikh Daud Abdullah al-Fathani oleh Prof. Dr. Ibrahem Narongraksakhet.

Assoc. Prof. Dr. Muhamad Abdul Fattah Santoso dari UMS Surakarta memberikan paparan betapa Mohammad Darwis, lahir dari dan dibesarkan di keluarga keturunan wali penyebar Islam, yang taat beragama dan hidup dalam suasana keagamaan pula. Selain itu, lingkungan Kauman ikut juga membentuk kepribadiannya, sehingga ia tumbuh menjadi anak yang rajin, jujur, dan suka menolong.

“Meski lahir dan besar dalam tradisi santri tradisional dan budaya Jawa Kraton yang penuh dengan pakem tradisional yang konservatif,namun lahir darinya pembaruan. “

Pergi naik haji dan bermukim di sebuah negeri yang berada dalam pengaruh paham Wahabisme yang kental, justru pulang ke tanahair sebagai sosok pembaru sejak usia belia 21 tahun. Hal itu tidak mungkin terjadi jika dalam dirinya tidak terdapat energy intelek-tual yang kritis dan haus akan pembaruan.

Pemurnian akidah yang dipahami K.H. Ahmad Dahlan ini disebut spiritualisasi syariah yang dimungkinkan melalui peran hati yang suci dan pikiran yang sehat. Karena, baginya, amallahir(syariah) adalah akibat daya ruh agama yang didasari hati suci dan pikiran sehat, sementara organisasi adalah instrumen pengembangan kesalehan hati-suci dan pikiransehat. Keduanya bukan hanya pangkal memahami Islam, tetapi akar ibadah, dasar hidup sosial dan keagamaan, sehingga terbebas dari kebodohan, dan karena itu bebas dari ikatan tradisi.

Dalam sesi tanya jawab muncul pertanyaan mengapa KH. Ahmad Dahlan yang mendirikan sekolah Ibtidaiyyah yakni perpaduan antara ilmu dan ilmu keagamaan pada tahun 1911 dibandingkan dengan Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah Taman Siswa 1922, kenapa Bapak Pendidikan Bangsa diberikan pada Ki Hadjar Dewantara, padahal KH Ahmad Dahlan lebih dulu mendirikan sekolah modern?

Perjuangan Syaikh Daud Abdullah al-Fathani dikupas oleh Prof. Dr. Ibrahem Narongraksakhet yang menguraikan betapa Syeikh Daud bin Abdullah Al-Fathoni lahir di kampung Parit Marhum dekat Keresik di Patani pada Tahun 1133H atau 1721M. Pendidikan awal tentang kelslaman didapat dari ayah dan kakeknya yang merupakan Ulama terkenal di daerahnya. Ayah dan kakeknya sangat displin dalam menjaga dan mendidik dia sejak kecil. Ditambah tradisi di Patani di waktu itu senantiasa menanamkan dan memperkenalkan Islam sejak masih kanak- kanak. Pada sekitar umur lima sampai tujuh tahun dipaksakan supaya mengenal pengetahuan tentang Allah (Ilmu tauhid).

Setelah belajar ilmu agama di Nusantara seperti di Aceh kemudian melanjutkan pembelajarannya ke Mekkah selama tiga puluh tahun dan di Madinah selama lima tahun.

Karya-karya beliau sangat popular di daerah Arab umumnya dan Melayu khususnya. Setengahnya menjadi kitab-kitab rujukan sampai sekarang-sekarang ini di wilayah Arab dan Melayu, diantaranya adalah kitab Ad-Durrus Stamiin, Minhajul Abidin, Munyatul Mustalli, dan lain-lain.

Acara ini juga dapat disaksikan ulang lewat

pemaparan perihal K.H. Ahmad Dahlan dan Syaikh Daud Abdullah al-Fathani ini memberikan informasi lebih banyak perihal beliau yang luar biasa dan menambah khasanah pengetahuan untuk menjadikan teladan dalam perjuangan dan hidup kita. (Arif Hartanto)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement