REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tingkat inflasi di beberapa negara mulai bergerak naik seiring dengan terjadinya pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19. Di Indonesia, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memperkirakan, kenaikan inflasi bisa menyentuh level 4,5 persen secara year on year (yoy) pada 2022 mendatang.
Menurut Bhima, kenaikan inflasi dapat berdampak pada sejumlah hal antara lain terkait dengan risiko penyesuaian suku bunga acuan. "Bahkan inflasi juga bisa memicu terjadinya kelangkaan barang, risiko penimbunan dan juga meningkatnya angka kemiskinan," kata Bhima saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (14/11).
Ketika terjadi inflasi, kata Bhima, dampak yang perlu dikhawatirkan adalah transmisi dari kenaikan harga komoditas terhadap biaya produksi dan barang-barang yang dijual secara ritel. Bhima menilai saat ini kenaikan inflasi sudah mulai terlihat dalam pergerakan harga minyak goreng.
Harga minya goreng naik karena biaya bahan baku minyak sawit mentah atau crude pal oil (CPO) secara global meningkat cukup signifikan. Kenaikan juga terjadi pada beberapa harga komoditas energi seperti BBM, tarif listrik dan LPG yang pada 2022 akan mengalami penyesuaian harga.
Pada saat yang bersamaan, lanjut Bhima, penjual ataupun produsen pasti akan meneruskan setiap kenaikan biaya produksinya kepada harga di level konsumen. Di sisi lain, kondisi konsumen masih belum pulih secara merata. Hal tersebut justru akan berdampak pada pelemahan daya beli masyarakat.
Dalam hal ini, menurut Bhima, produsen akan kembali terkena dampaknya. Opsi penyesuaian harga akan berimbas pada penurunan omzet. "Kelompok masyarakat yang paling bawah, pemulihannya lebih lambat dibandingkan kelompok lainnya, sehingga mereka akan mengurangi pembelian barang," kata Bhima.