REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemerintah menyebut instrumen keuangan negara dalam APBN seperti utang dan penerimaan pajak lebih populer dibandingkan barang milik negara atau aset negara. Padahal instrumen aset negara merupakan hal sangat penting diketahui masyarakat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pemahaman mengenai aset negara di tengah masyarakat masih sangat kurang. "BMN merupakan aset milik negara, sering di dalam pembicaraan di publik BMN ini kurang populer dibandingkan dua hal lain yang lebih sering disampaikan atau sering dibicarakan di publik, yaitu aspek pajak dan aspek utang negara," ujarnya saat acara Apresiasi Kekayaan Negara secara virtual, Senin (15/11).
Sri Mulyani mencatat aset negara sebesar Rp 11.098,67 triliun pada 2020. Adapun realisasi ini meningkat sebesar 6,02 persen dibandingkan 2019 sebesar Rp 10.467,53 triliun.
"Kenaikan nilai aset negara kita lebih dari Rp 4.000 triliun. Ini adalah sisi neraca yang tidak dibahas karena yang sering dilihat adalah sumbernya penerimaan, utamanya pajak dan pembiayaan, yaitu utang," ucapnya.
Sri Mulyani mengakui ada kesulitan di tengah masyarakat memahami soal aset negara, khususnya yang bersifat intangible atau yang tidak dapat dilihat secara kasat mata. Menurutnya perbaikan SDM dan inovasi bangsa juga masuk dalam aset intangible yang sering luput.
Sri Mulyani menjelaskan aset negara tak hanya berupa bangunan yang bisa dilihat saja, seperti bandara, gedung kedutaan besar di luar negeri, jalan tol, dan sebagainya."Kita tidak boleh melupakan ada aset yang sifatnya intangible atau kualitas manusia yang sehat dan makin cerdas, yang memiliki skill (keahlian) itu aset yang intangible," ucapnya.
Maka itu, dia mengingatkan jajaran Kementerian Keuangan untuk menyampaikan kepada publik akan aset dan kekayaan negara serta fungsinya dalam kehidupan masyarakat.
Utang terkendali
Sementara itu Bank Indonesia (BI) mengumumkan posisi utang luar negeri Indonesia pada kuartal III 2021. BI mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir kuartal III 2021 sebesar 423,1 miliar dolar AS atau tumbuh 3,7 persen (tahun ke tahun atau year on year/yoy).
Jika dikurskan dengan nilai Rp 14.200 per dolar AS, maka total utang luar negeri Indonesia sebesar Rp 6.008 triliun.
BI menyatakan utang luar negeri Indonesia ini lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kuartal sebelumnya sebesar 2,0 persen (yoy). Perkembangan tersebut disebabkan oleh peningkatan pertumbuhan ULN sektor publik dan sektor swasta.
Baca juga : Utang Luar Negeri Tembus Rp 6.000 T, BI: Tetap Terkendali
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengatakan ULN pemerintah tumbuh lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya. Posisi ULN pemerintah pada kuartal III 2021 sebesar 205,5 miliar dolar AS atau tumbuh 4,1 persen (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan kuartal II 2021 sebesar 4,3 persen (yoy).
Jika dikurskan ke rupiah maka total utang milik pemerintah mencapai Rp 2.918 triliun atau hampir separoh dari total utang luar negeri. Kurs yang dipakai Rp 14.200 per dolar AS.
"Perkembangan tersebut disebabkan oleh pembayaran neto pinjaman seiring lebih tingginya pinjaman yang jatuh tempo dibanding penarikan pinjaman," kata Erwin dalam siaran persnya, Senin (15/11).
Menurut Erwin, hal ini terjadi di tengah penerbitan global bonds, termasuk sustainable development goals (SDG) bond sebesar 500 juta euro, yang merupakan salah satu penerbitan SDG bond konvensional pertama di Asia.
Penerbitan SDG Bond ini menunjukkan upaya Indonesia dalam mendukung pembiayaan berkelanjutan dan langkah yang signifikan dalam pencapaian SDG. ULN pemerintah, jelas Erwin, dikelola secara hati-hati, kredibel, dan akuntabel diutamakan untuk mendukung belanja prioritas pemerintah.
Belanja pemerintah ini termasuk kelanjutan upaya mengakselerasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), antara lain mencakup dukungan pada sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (17,9 persen dari total ULN Pemerintah), sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (17,3 persen), sektor jasa pendidikan (16,5 persen), sektor konstruksi (15,5 persen), dan sektor jasa keuangan dan asuransi (12,1 persen).
Dari sisi risiko refinancing, posisi ULN Pemerintah aman karena hampir seluruh ULN memiliki tenor jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9 persen dari total ULN pemerintah.
Baca juga : Jokowi Diprediksi Netral, Pemilihnya ke Prabowo?