Senin 15 Nov 2021 14:10 WIB

Erick Thohir: Saya Sering Dituduh tanpa Ada Bukti

Semua keputusan terkait pandemi diambil lewat mekanisme rapat kabinet

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Gita Amanda
Menteri BUMN Erick Thohir akhirnya angkat bicara terkait tudingan mendapat keuntungan dari pengadaan alat tes PCR di awal pandemi Covid-19. (ilustrasi).
Foto: ROL
Menteri BUMN Erick Thohir akhirnya angkat bicara terkait tudingan mendapat keuntungan dari pengadaan alat tes PCR di awal pandemi Covid-19. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri BUMN Erick Thohir akhirnya angkat bicara terkait tudingan mendapat keuntungan dari pengadaan alat tes PCR di awal pandemi Covid-19. Dalam wawancara eksklusif di acara "Kick Andy Double Check" yang ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta pada Ahad (14/11), Erick menyatakan, sejak menjadi pejabat publik tuduhan yang selalu menimpanya tidak pernah terbukti.

"Dulu ketika vaksin pertama datang, saya juga dituduh mendapat keuntungan dari jualan vaksin. Sekarang soal alat PCR juga. Tapi, kembali, saya sering dituduh tanpa ada bukti sehingga tertangkap kesan mereka hanya ingin membuat framing demi mencari publisitas dan membangun persepsi negatif," ucap Erick.

 

Oleh karena itu, Erick akan menunggu jika pihak yang menuduh ingin mengadukan dirinya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam kapasitas sebagai warga negara yang taat hukum, Erick menyatakan akan siap memenuhi panggilan jika dibutuhkan.

 

"Kita tunggu saja, bagaimanapun pengaduan memerlukan bukti. Jika dipanggil, saya akan datang. Saya juga yakin, KPK, kejaksaan, dan kepolisian punya mekanisme dalam menerima pengaduan dan melakukan cross check. Apakah benar terbukti bukti atau sekadar cari publisitas," kata Erick melanjutkan.

 

Terkait pengadaan alat tes PCR pada awal pandemi dengan salah satunya melibatkan PT GSI (Genomik Solidaritas Indonesia), Erick menjelaskan, dirinya tidak mengikuti pendirian PT GSI yang dibentuk oleh yayasan. Meski demikian, ia menilai sangat tidak adil jika sebuah aktivitas bisnis yang dilakukan yayasan dan hasil dari kegiatan itu dikembalikan dan memberi manfaat kepada masyarakat malah dituduh memperkaya diri.

 

"Jika demikian framing-nya, sekolah atau rumah sakit yang didirikan banyak yayasan bisa diartikan untuk memperkaya diri sendiri? Kan tidak fair. Jika dituduh saya ada di yayasan itu, bisa di-check. Sejak dipercaya presiden, selain sudah melepaskan seluruh jabatan di swasta, saya sudah melaporkan harta kekayaan secara transparan di KPK dan lembaga pajak negara," ujar Erick.

 

Kepatuhan pada aturan melaporkan kekayaan juga diterapkan di Kementerian BUMN secara transparan. Jika sebelumnya kewajiban laporan diberikan kepada jajaran komisaris dan direksi di level holding perusahaan BUMN, kini keharusan laporan harta kekayaan juga dibebankan kepada anak dan cucu perusahaan BUMN.

 

"Saya ingin menekankan bahwa pada konteks Covid-19, banyak risiko yang diambil pejabat publik untuk menyelamatkan masyarakat, tanpa ada niat sedikit pun untuk memperkaya diri sendiri. Lillahi ta'ala. Lewat arahan Presiden, saya rasa banyak menteri yang bekerja 24 jam dengan nawaitu yang jelas untuk memberi pelayanan kesehatan dan masyarakat hingga saat ini karena pandemi belum selesai," kata Erick menegaskan.

 

Oleh karena semua keputusan terkait penanganan pandemi diambil melalui mekanisme rapat terbatas kabinet yang dihadiri Presiden, Wapres, dan para menteri terkait, semua kebijakan tentang PCR, vaksin, atau penerapan PPKM ditentukan secara transparan.

 

"Apakah mungkin ratas membuat keputusan untuk menguntungkan diri saya? Kewajiban tes PCR bagi penumpang pesawat merupakan kebijakan pemerintah yang mendapat input dari banyak menteri. Saya juga tidak punya track record di bisnis kesehatan. Jadi, framing negatif ini jelas dilakukan oknum-oknum kecil yang tidak ingin Indonesia maju dan selamat dari pandemi," kata Erick.

 

Baca juga : Bakal Dilaporkan ke Polda Soal PCR, Luhut: Capek-Capekin Aja

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement