Senin 15 Nov 2021 23:59 WIB

Mengapa Hadits Palsu tidak Bisa Dijadikan Dalil Agama?

Hadits palsu tidak mempunyai sandaran yang kuat dan dinisbatkan ke Rasulullah

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Hadits palsu tidak mempunyai sandaran yang kuat dan dinisbatkan ke Rasulullah. Ilustrasi hadits
Foto: MGROL100
Hadits palsu tidak mempunyai sandaran yang kuat dan dinisbatkan ke Rasulullah. Ilustrasi hadits

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dalam studi hadits, keberadaan hadits palsu (maudhu) sangat diwanti-wanti para ulama.   

Hadits kategori ini tidak bisa dijadikan landasan hukum. Statusnya tertolak sebab menisbatkan Nabi Muhammad SAW dalam kepalsuan.

Baca Juga

KH Ali Mustafa Yaqub dalam buku Cara Cermat Mengamalkan Hadis menyampaikan, hadits palsu tidak bisa dijadikan dalil. Salah satu contoh hadits palsu adalah tentang Ramadhan dan sholat tarawih. Dalam sebuah redaksi hadits disebutkan: 

مَنْ فَرِحَ بِدُخُولِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلىَ النِّيْرَانِ    “Man fariha bidukhuli Ramadhana harramallahu jasadahu ala-nniran.” 

Yang artinya, “Barang siapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka.” 

Hadits ini terdapat dalam Kitab Durrat an-Nasihin karya Usman Al-Khubbani, yakni sebuah kitab yang dituding sebagai penyebar hadits-hadits palsu dan kisah-kisah fiktif. Hadits ini juga memiliki kelemahan yang sangat tampaik, salah satunya adalah ketiadaan teks sanad.

Hadits yang tak memiliki teks sanad tersebut tidak ada dalam kitab-kitab hadits. Sehingga sangat berbahaya jika ungkapan tersebut dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Sebab apabila ungkapan itu dinisbatkan kepada Nabi, maka hal itu menjadi hadits palsu.

Contoh lainnya adalah tentang sholat tarawih. Di mana umat Islam di Indonesia secara umum mengenal tata cara pelaksanaan tarawih dalam dua versi, yakni sholat tarawih sebanyak 23 rakaat dan sholat tarawih sebanyak delapan rakaat.

Redaksinya sebagai berikut, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA itu: 

 أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ  Anna Rasulallahi SAW kana yushalli fi Ramadhan isyrina rak'atan wal witra 

Yang artinya, “Dari Ibnu Abbas, katanya, ‘Nabi SAW sholat pada Ramadhan 23 rakaat dan witir.”  

Hadits ini diriwayatkan oleh At-Thabrani, Ibnu Abi Syaibah, dan Al-Khatib Al-Baghdadi. Imam Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadis riwayat Ibnu Abbas ini lemah sekai. Kelemahan hadits itu dikarenakan di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Usman.

Imam Bukhari mengatakan bahwa para ulama tidak mau berkomentar tentang Abu Syaibah, sedangkan At-Tirmidzi menyatakan bahwa Abu Syaibah munkar hadisnya. Dan Imam An-Nasa-I menjelaskan bahwa Abu Syaibah adalah matruk hadisnya. Bahkan menurut Syu’bah, Abu Syaibah adalah seorang pendusta. Karenanya, hadis riwayat Ibnu Abbas itu palsu atau minimal hadis matruk (semi palsu).

Namun bagaimana huumnya melakasanakan tarawih 23 rakaat?

Melaksanakan sholat tarawih 23 rakaat bukanlah sebuah kesalahan. Kesalahannya adalah jika menjadikan hadis palsu itu sebagai dalilnya. Sholat tarawih 23 rakaat itu adalah benar dengan menggunakan tiga dalil.

Pertama, rakaat sholat tawarih tidak dibatasi jumlahnya, maka 23 rakaat itu diperbolehkan. Rasulullah SAW bersabda, “Man qaama Ramadhan imanan wahtisaban ghufira lahu maa taqaddama min dzanbih.” 

Yang artinya, “Barang siapa menjalankan qiyam Ramadhan karena beriman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa-dosanya (yang kecil) yang telah lalu akan diampuni,”.

Kedua, hadis mauquf riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim. Di mana Sayyidina Umar bin Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab untuk menjadi imam sholat tawarih di masjid, dan ternyata Ubay dan para sahabat lain sholat tarawih 20 rakaat. Dan tidak ada satu pun sahabat yang memprotes hal itu, padahal waktu itu Sayyidah Aisyah, Sayyidina Umar, Sayyidina Usman, Sayyidina Ali, Abu Hurairah, hingga sahabat senior lain semuanya masih hidup.

Ketiga, ijma sahabat. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abdul Al-Bar, dan Ibnu Qudamah Al-Maqdisi sholat tarawih 20 rakaat adalah ijma (konsesus). Bahkan Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni menurutkan bahwa apa yang disepakati oleh para sahabat itu lebih utama dan lebih layak untuk diikuti.    

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement