REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum Habib Rizieq Shihab (HRS) Aziz Yanuar menanggapi pemotongan hukuman terhadap kliennya dalam kasus kabar bohong hasil pemeriksaan tes usab Covid-19 di RS UMMI, Bogor, Jawa Barat (Jabar). Pemotongan hukuman terkait dengan kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum, dan juga tim kuasa hukum HRS.
Aziz menyatakan, tim kuasa hukum HRS akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi RI terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 yang dijadikan pertimbangan oleh Majelis hakim. Alasannya, Aziz menilai, UU tersebut sudah tak sesuai lagi penggunaannya saat ini.
Maklum saja, UU no 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana tersebut terbit dengan pertimbangan bahwa saat itu negara belum dapat membentuk sebuah Undang-Undang Pidana yang baru. Alhasil Indonesia menggunakan hukum pidana yang sudah ada sejak zaman penjajahan dengan disesuaikan keadaan.
"Kami akan mengajukan judicial review karena sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian," kata Aziz dalam keterangan resminya kepada Republika, Selasa (16/11).
Selain itu, Aziz menuding, penggunaan UU no 1 tahun 1946 sudah tak relevan lagi. Apalagi UU itu menurut Aziz malah dijadikan alat bagi penguasa dalam menjerat siapa saja yang dikehendaki. Oleh karena itu, Aziz menegaskan bahwa HRS lah yang menjadi korban rezim selama ini.
"Sering dijadikan sebagai alat politik untuk jerat orang yang tidak disukai rezim, sehingga IB-HRS menjadi salah satu korbannya," ujar Alumnus hukum Universitas Pancasila tersebut.
Baca juga : Jokowi Pastikan Pelantikan Panglima TNI Besok
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) memotong masa hukuman terhadap HRS dari empat tahun menjadi hanya dua tahun. Dalam putusan kasasi tersebut, dikatakan alasan objektif para hakim mengurangi masa pemenjaraan HRS karena perbuatannya hanya terjadi di media massa. Menurut hakim, dari perbuatan Habib Rizieq tersebut, tak memunculkan korban jiwa, fisik, atau kerugian harta benda terhadap pihak-pihak lain.
“Oleh karena itu, penjatuhan pidana oleh judex facti kepada terdakwa selama 4 tahun, dipandang terlalu berat. Sehingga, pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa patut atau beralasan untuk diperbaiki dengan menjatuhkan pidana yang lebih ringan,” begitu dalam putusan hakim MA.
Hasil kasasi MA tersebut, tertuang dalam putusan 4471 K/Pid.Sus/2021, dan resmi mengubah putusan PT DKI Jakarta 30 Agustus 2021, atau putusan PN Jakarta Timur, 24 Juni 2021 lalu.