Selasa 16 Nov 2021 15:26 WIB

Amnesty: Kritik Pemerintah tak Boleh Berujung Kriminalisasi

Amnesty Internasional mengatakan kritik bagian dari hak atas kebebasan berpendapat.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bayu Hermawan
Direktur Amnesty International Indonesia - Usman Hamid
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Direktur Amnesty International Indonesia - Usman Hamid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty Internasional Indonesia meminta agar pihak-pihak, termasuk pejabat pemerintah mau menerima kritik dan tidak boleh berujung pada kriminalisasi. Hal itu disampaikan Amnesty Internasional terkait ancaman Menteri Koordinator Maritim dan investasi, Luhut Binsar Panjaitan yang mengancam akan mengaudit LSM yang menyebut kebijakan pemerintah justru mendukung deforestasi

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan Kritik Greenpeace terhadap pidato Presiden adalah bagian dari hak setiap orang atas kebebasan berekspresi dan berpendapat. Jika ada bagian dari data yang disampaikan Greenpeace yang dianggap tidak akurat, maka seharusnya pemerintah maupun pihak lain tinggal membantahnya dengan data juga.

Baca Juga

"Bukan berusaha mengkriminalisasi penyampaian kritik.” kata Usman Hamid, dalam keterangannya, Selasa (16/11).

Pada tanggal 2 November, Greenpeace Indonesia mengeluarkan rilis yang menanggapi dan mengkritik beberapa poin-poin pidato Presiden Joko Widodo di COP26 pada 1 November. Di antaranya, Greenpeace menyampaikan data-data deforestasi antara tahun 2003-2019. Kemudian, pada tanggal 9 November, Husin Shahab, ketua kelompok Cyber Indonesia, melaporkan Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, dan Kepala Kampanye Global Hutan Indonesia Greenpeace, Kiki Taufik, ke Polda Metro Jaya. 

Keduanya dilaporkan atas tuduhan membuat berita bohong yang menyebabkan keonaran dan/atau perbuatan menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan. Amnesty Indonesia menilai pelaporan ini kembali menunjukkan bagaimana ruang kebebasan sipil di Indonesia semakin dihimpit. Kritik yang sangat wajar, berbasis data, dan sama sekali tidak mengundang hinaan atau tuduhan saja bisa dituduh sebagai ujaran kebencian.

"Jika aparat berwenang memproses laporan ini, maka kritik seperti apa yang bisa kita sampaikan kepada para penguasa?," kata Usman.

Amnesty mengingatkan hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi sudah dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum. Secara internasional, hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi dijamin di pasal 19 di Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang dijelaskan lebih lanjut dalam Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR.

Hak tersebut juga dijamin di Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E dan 28F UUD 1945, serta pada Pasal 23 dan 14 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. "Kami mendesak pihak kepolisian untuk tidak memproses pelaporan ini demi melindungi kebebasan berekspresi," jelasnya.

Apalagi dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus, Presiden mengatakan bahwa kritik terhadap pemerintah adalah bagian penting dalam kehidupan bernegara. "Dia seharusnya memastikan pejabat pemerintahannya dan pendukungnya juga mengerti hal tersebut," ucap Usman.

Sebelumnya kritik juga disampaikan kepada para pemimpin negara yang dianggap telah gagal melindungi masyarakat yang paling terkena dampak krisis iklim. Sebaliknya, mengalah pada kepentingan industri bahan bakar fosil dan perusahaan kuat lainnya dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26), kata Amnesty International.

Sejalan dengan seruan untuk memecahkan ancaman kemanusiaan tersebut, tidak boleh ada negara yang mengkriminalisasi kritik damai terhadap kebijakan pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim. Kritik terhadap kebijakan pemerintah untuk mengatasi perubahan iklim juga seharusnya tidak berujung kriminalisasi dan represi.

Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnès Callamard mengungkapkan konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa telah gagal memberikan hasil yang melindungi planet ini maupun manusia yang tinggal di dalamnya. Sebaliknya, konferensi tersebut telah mencederai dasar-dasar di mana Perserikatan Bangsa-Bangsa dibangun – sebuah janji, yang pertama-tama, bukan ditujukan kepada bangsa, atau negara, tetapi kepada masyarakat.

"Sepanjang negosiasi mereka, para pemimpin kita telah membuat pilihan yang mengabaikan, mengikis atau menawar hak-hak kita sebagai manusia, dan seringkali menganggap komunitas yang paling terpinggirkan di seluruh dunia sebagai dampak sampingan yang kurang signifikan," katanya.

Keputusan yang dibuat oleh para pemimpin dunia di Glasgow memiliki konsekuensi serius bagi seluruh umat manusia. Karena mereka jelas telah melupakan orang-orang yang mereka layani, maka masyarakat harus bersatu untuk menunjukkan kepada mereka apa yang bisa dicapai.

Selama 12 bulan ke depan, kita harus berdiri bersama untuk menyerukan kepada pemerintah kita untuk mengambil tindakan ambisius terhadap perubahan iklim yang menempatkan manusia dan hak asasi manusia sebagai pusatnya. "Jika kita tidak memusatkan hati dan pikiran kita untuk memecahkan ancaman eksistensial terhadap kemanusiaan ini, maka kita akan kehilangan segalanya.” ujar Agnès.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement