REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Terbentuknya Majelis Tahkim sebagai lembaga etik dan sekaligus sebagai wadah penyelesaian perselisihan Muktamar ke-34 NU mendapat apresiasi sejumlah kalangan.
Tokoh muda NU dari Indonesia, timur Abdul Hamid Rahayaan, menilai keberadaan majelis tahkim tersebut dengan tujuan untuk dapat menengahi perselisihan yang berkaitan dengan Muktamar NU dan lebih dari itu yang terhimpun dalam majelis tahkim adalah para ulama sepuh yang alim dan berintegritas dan merupakan panutan.
Dia lantas menyampaikan beberapa poin penting yaitu pertama, diharapkan majelis Tahkim dapat mengarahkan muktamirin agar sistem yang dipakai dalam pemilihan Rais Aam maupun Ketua Umum PBNU adalah Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) sehingga tidak terjadi kecurangan oknum kandidat maupun tim sukses. "Jika tidak maka citra NU sebagai organisasi ulama akan hilang kepercayaan publik," kata dia.
Kedua, dilarang kandidat Ketua Umum PBNU maupun tim sukses menebar fitnah untuk saling menjatuhkan antara satu kandidat dengan kandidat lain, Ketiga, calon Ketua Umum PBNU dilarang menjadikan politisi sebagai tim suksesnya apalagi politisi yang pernah terlibat masalah hukum. Keempat, calon Ketua Umum PBNU dilarang mencari dana atau disponsori perjuangannya oleh pengusaha bermasalah, politisi bermasalah, dan pejabat bermasalah. "Karena mengakibatkan Ketua Umum PBNU terpilih akan tersandera kepentingan mereka," tegas Abdul Hamid.
Dia menilai, ini perlu diterapkan dalam Muktamar ke-34 di Lampung agar tidak terjadi kecurangan maupun kezaliman yang akan terjadi pada muktamar nanti.
Dia menyampaikan saran kepada para kiai dan ulama yang terhimpun di dalam struktur majelis tahkim agar tidak mengenal kompromi dalam menegakkan etik an juga tidak memberikan ruang bagi calon Ketua Umum PBNU yang melanggar etik dan menghalalkan segala cara.
Hal ini, menurut dia, semata dalam rangka menjaga eksistensi dan kepercayaan Nahdlatul Ulama dari warga NU, rakyat, bangsa, dan negara Indonesia.