Selasa 16 Nov 2021 20:19 WIB

Survei: Mayoritas Warga tak Dukung Skema Vaksin Berbayar

Sebanyak 20,2 persen responden setuju skema vaksin berbayar

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Muhammad Subarkah
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin kepada siswa Sekolah Dasar (SD) Negeri X Jatiasih di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (16/11/2021). Pemberian vaksinasi Difteri Tetanus (DT) dan Tetanus Difteri (TD) kepada siswa tersebut untuk meningkatkan, penguatan, serta kekebalan imun tubuh anak terhadap penyakit.
Foto: ANTARA/Suwandy
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin kepada siswa Sekolah Dasar (SD) Negeri X Jatiasih di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (16/11/2021). Pemberian vaksinasi Difteri Tetanus (DT) dan Tetanus Difteri (TD) kepada siswa tersebut untuk meningkatkan, penguatan, serta kekebalan imun tubuh anak terhadap penyakit.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Hasil survei Change.org Indonesia, Katadata Insight Center (KIC) dan KawalCOVID19.id menampilkan data bahwa mayoritas responden tidak mendukung skema vaksinasi berbayar, karena menganggap vaksin sebagai hak warga di kala pandemi. Selain itu, skema berbayar dianggap tidak adil terhadap warga kurang mampu.

Efraim Leonard, campaigner dari Change.org Indonesia menyampaikan, hasil survei ini mengafirmasi dukungan masyarakat yang juga mengalir lewat petisi yang menolak vaksinasi berbayar, termasuk via skema gotong royong. 

"Sehingga, diharapkan pemerintah bisa segera menerima input dan semakin memperbaiki program vaksinasi ini untuk ke depannya, " kata Efraim dalam diskusi daring, Rabu (29/9). 

Survei ini disebarkan 6-21 Agustus 2021 secara online ke seluruh Indonesia dengan melibatkan 8.299 responden menggunakan metode convenience sampling. Karena penyebarannya yang menggunakan convenience sampling, ada proporsi responden yang berbeda dengan proporsi riil penduduk Indonesia per wilayah, di antaranya proporsi responden wilayah urban Jawa, kelompok usia dewasa muda, serta SES A-B lebih terwakili di survei ini dibanding dengan realita masyarakat Indonesia yang berada di SES B-C-D dan tinggal di wilayah non urban.

Berdasarkan hasil survei, sebanyak 70 persen responden tidak setuju vaksin berbayar. Para responden mengatakan bahwa vaksin merupakan hak warga negara sebanyak 73,9 persen, vaksin berbayar tidak adil bagi yang kurang mampu 67,9 persen dan ada potensi menjadi ladang korupsi di Indonesia 53,5 persen. 

Sementara 20,2 persen responden setuju skema vaksin berbayar dengan alasan agar vaksinasi lebih cepat selesai 71,3 persen, agar vaksin gratis diberikan hanya kepada yang tidak mampu 52,4 persen dan agar mengurangi antrian bagi penerima vaksin gratis 49,9 persen. 

“Di antara responden yang setuju vaksin berbayar, ada kecenderungan semakin senior usianya dan semakin baik status ekonominya, dukungan terhadap skema berbayar semakin tinggi tapi tidak sampai menjadi mayoritas,” kata Head of Katadata Insight Center (KIC) Adek Media Roza.  

Sebanyak 86,6 persen responden menyarankan keluarga dan teman-teman mereka untuk divaksinasi dengan frekuensi sesekali sampai hampir tiap hari. Alasan yang paling sering diungkapkan adalah agar orang-orang terdekat mereka terlindungi (78,7 persen), dan agar dapat beraktivitas seperti normal (70,1 persen). 

"Sebanyak 37,5 persen responden menyatakan orang terdekat mereka ada yang sudah lansia, dan 34,6 persen mengatakan orang terdekat mereka ada yang memiliki mobilitas tinggi karena harus bekerja dari kantor," tutur Adek. 

Co-founder KawalCOVID19 Elina Ciptadi mengatakan, pihaknya melihat data ini sebagai indikasi yang baik bahwa responden sadar pentingnya melindungi yang rentan, dan bahwa melindungi diri sendiri saja tidak cukup. Semakin banyak orang di lingkungan sosial mereka yang tervaksinasi, semakin rendah risiko bagi mereka. 

Namun ada 13,4 persen atau 1.113 responden yang tidak pernah menyarankan keluarga dan teman-teman mereka untuk divaksinasi. Alasan utamanya adalah memberi kebebasan kepada orang terdekat karena pilihan di tangan masing-masing (81,4 persen). Di antara mereka yang tidak pernah menyarankan lingkungan terdekatnya untuk vaksinasi, 65,9 persen atau 773 memang belum divaksinasi dan 79 persen atau 154 dari mereka merasa tidak ingin divaksinasi.  

"Terdapat kecenderungan dimana jika responden sendiri belum dan tidak ingin divaksinasi, mereka tidak akan menyarankannya pada orang lain," ujar Elina. 

Sementara Plt. Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, dr. Prima Yosephine, MKM mengatakan, kesetaraan akses terhadap vaksin Covid-19 masih menjadi prioritas, yakni pemerataan vaksin dosis 1 dan 2 lebih penting daripada booster.

"Pemerintah sedang berusaha untuk mendekati badan-badan usaha agar bisa memaksimalkan vaksinasi gotong royong, karena sampai saat ini masyarakat lebih memilih untuk menggunakan vaksinasi yang gratis," kata dia 

Ia juga mengungkapkan, keraguan divaksinasi di kalangan lansia cukup tinggi, kemungkinan karena takut dengan KIPI. Program jemput bola masih dilakukan, keluarga dari para lansia bisa membantu untuk mengantar orang tuanya divaksinasi. 

"Tapi sayangnya masih ada keluarga yang tidak menginginkan orangtuanya divaksinasi," kata dia. 

 

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement