REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Hendrik Lewerissa mempertanyakan diksi 'dan atau' perihal sanksi untuk pelaku kekerasan seksual dalam rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Menurutnya, hal tersebut menjadi rancu karena diksi 'atau' dapat menjadi celah untuk pelaku agar tidak dipidana.
"Kalau memang tujuan kita untuk memberikan efek jera kepada pelaku maka usulan saya yang konkret, itu dibuat sanksi kumulatif. Jadi penjara dan denda," ujar Hendrik dalam rapat panitia kerja (Panja) TPKS, Selasa (16/11).
Salah satu contohnya Pasal 5 mengatur adanya pemaksaan menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan, ancaman, penyalahgunaan kekuasaan, hingga memanfaatkan kondisi tak berdaya. Sebab, pemaksaan dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya sementara waktu.
Pada Pasal 5, pelaku akan dikenai pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 50 juta. Adapun, Pasal 6 mengatur terkait pemaksaan sterilisasi yang membuat kehilangan fungsi reproduksinya secara tetap dikenai pidana penjara paling lama sembilan tahun dan atau denda sebesar Rp 200 juta.
"Terserah pelaku mau bayar atau bagaimana yang penting effect deterrence-nya itu tercapai," ujar Hendrik.
Di samping itu, ia juga mempertanyakan terkait pengertian rehabilitasi dalam Pasal 1 nomor 22. Dalam draf tersebut tertulis, rehabilitasi adalah upaya yang bertujuan untuk dapat melaksanakan kembali perannya secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
"Rehabilitasi ini upaya yang dilakukan oleh siapa dan ditujukan kepada siapa, itu yang harus dicantumkan dalam pengertian rehabilitasi ini," ujar Hendrik.