Rabu 17 Nov 2021 00:20 WIB

Uni Eropa Pertimbangkan Bentuk Kekuatan Militer Gabungan

Pembentukan militer gabungan bertujuan agar UE tidak bergantung pada AS

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Christiyaningsih
Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, dan Wakil Presiden Uni Eropa Josep Borrell. Uni Eropa (UE) sedang mempertimbangkan untuk membentuk kekuatan militer gabungan.
Foto: EPA-EFE/JASON SZENES
Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, dan Wakil Presiden Uni Eropa Josep Borrell. Uni Eropa (UE) sedang mempertimbangkan untuk membentuk kekuatan militer gabungan.

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Uni Eropa (UE) sedang mempertimbangkan untuk membentuk kekuatan militer gabungan dengan jumlah mencapai 5.000 pasukan pada 2025. Pembentukan militer gabungan ini bertujuan agar UE tidak bergantung pada Amerika Serikat (AS) ketika membantu pihak lain dalam menghadapi berbagai krisis.

Dokumen rahasia setebal 28 halaman tertanggal 9 November yang dilihat oleh Reuters menjelaskan percepatan pembentukan pasukan UE harus terdiri dari komponen darat, laut, dan udara. Mereka dapat bertugas secara bergantian tergantung pada krisis yang dihadapi.

Baca Juga

Rencana pembentukan pasukan gabungan menjadi perdebatan di kalangan menteri luar negeri dan menteri pertahanan UE dalam sebuah pertemuan pada Senin malam di Brussels. Pertemuan akan dilanjutkan pada Selasa (16/11) untuk menyelesaikan dokumen akhir yang akan dirilis pada Maret tahun depan.

Rancangan strategi pembentukan pasukan gabungan diinisiasi oleh Kepala kebijakan Luar Negeri UE Josep Borrell. Strategi yang disebut sebagai Strategi Kompas adalah upaya paling konkret untuk menciptakan kekuatan militer mandiri yang tidak bergantung pada aset AS.

“Kami membutuhkan lebih banyak kecepatan, ketangguhan, dan fleksibilitas untuk melakukan berbagai tugas manajemen krisis militer. Kita harus mampu menanggapi ancaman yang akan segera terjadi atau bereaksi cepat terhadap situasi krisis, misalnya misi penyelamatan dan evakuasi atau operasi stabilisasi di lingkungan yang tidak bersahabat,” kata rancangan dalam Strategi Kompas.

Dalam rancangan itu, tidak semua 27 negara UE perlu ambil bagian meskipun persetujuan penempatan akan membutuhkan konsensus. Strategi Kompas adalah hal terdekat yang dapat dimiliki UE dengan doktrin militer. Strategi ini mirip dengan “Konsep Strategis” NATO yang dipimpin AS yang menetapkan tujuan aliansi.

Borrell ingin negara-negara UE berkomitmen untuk menyediakan aset terkait dan pendukung strategis yang diperlukan. Termasuk mengembangkan logistik, transportasi udara jarak jauh, dan kemampuan komando dan kontrol AS yang diandalkan oleh sekutu Eropa di NATO.

Amerika Serikat telah mendesak Eropa untuk berinvestasi dalam pasukan yang dapat dikerahkan. Presiden AS Joe Biden mengatakan investasi pasukan tersebut akan melengkapi NATO. Uni Eropa telah mempertahankan kelompok tempur dengan 1.500 pasukan sejak 2007. Namun mereka tidak pernah diterjunkan meskipun ada upaya untuk menempatkan mereka di Chad dan Libya.

Para analis pertahanan menyebut memecah kelompok perang menjadi unit yang lebih kecil dapat membuat mereka bergerak fleksibel dan dapat diandalkan. Mereka dipimpin oleh masing-masing negara yang mungkin tidak memiliki kepentingan dalam krisis.

“Penggunaan modul akan memberi kami fleksibilitas yang lebih besar untuk menyesuaikan kekuatan kami dengan sifat krisis. Ini adalah kunci jika kami ingin mengatasi hambatan yang kami hadapi di masa lalu,” demikian bunyi rancangan Strategi Kompas.

Para pemimpin UE pertama kali setuju untuk membentuk pasukan gabungan dengan jumlah antara 50 ribu hingga 60 ribu pada dua dekade lalu. Akan tetapi pasukan gabungan tersebut gagal beroperasi.

Baca juga : Turki Tangkap Tersangka Kasus Pembunuhan Presiden Haiti

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement