REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bencana banjir di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, sudah berlangsung hampir satu bulan atau sejak 21 Oktober 2021 hingga sekarang. Kini, ketinggian air dilaporkan sekitar 1 meter sampai 3 meter. Puluhan ribu warga terpaksa mengungsi.
Pemerintah menyatakan banjir karena kerusakan lingkungan pada di sekitar Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Dua sungai itu melintasi Kabupaten Sintang.
Hasil pemantauan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas dan Melawi Selasa (9/11) pekan lalu, pemerintah menyatakan banjir karena kerusakan lingkungan maupun bentang alam yang masif di beberapa titik tak jauh dari bantaran sungai. “Kerusakan bentang alam tersebut diduga menjadi faktor yang membuat berkurangnya daya dukung dan daya tampung lingkungan,” ujar Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Rabu (17/11).
Kondisi itu kemudian memicu banjir besar di beberapa lokasi di Kalimantan Barat satu bulan terakhir. Lokasi itu, yakni Kabupaten Melawi, Kabupaten Sintang, Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Sekadau.
Pada Selasa (16/11), Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menyatakan, kerusakan daerah tangkapan air di sepanjang kawasan aliran sungai telah terjadi cukup lama. Akibatnya, fungsi daerah resapan air menjadi berkurang signifikan sehingga ketika hujan turun, debit sungai meningkat dan meluap hingga membanjiri empat Kabupaten di Kalimantan Barat.
Presiden juga mengatakan, segala aktivitas yang berpotensi merusak lingkungan dan bentang alam yang ada di daerah itu harus dihentikan. Aktivitas itu yang menjadi penyebab bencana banjir di Kalimantan Barat bermula dari situ.
Sebagai upaya rehabilitasi dan pemulihan daerah tangkapan hujan di sekitar Sungai Kapuas, presiden mengatakan bahwa pemerintah akan fokus melakukan perbaikan lingkungan di daerah itu dan dimulai tahun depan. Presiden menginginkan agar daerah tangkapan hujan dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Tindakan konkret
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace, Arie Rompas, mengatakan, Jokowi sebaiknya jangan selalu menggunakan kerusakan hutan pada rezim masa lalu sebagai tameng. Ia mengatakan, deforestasi memang sudah terjadi di Kalimantan Barat (Kalbar) selama puluhan tahun sejak rezim Orde Baru-nya Soeharto hingga rezim Jokowi.
Baca Juga:
- Kerusakan Masif dan Menanti Tindakan Konkret Jokowi
- Ini Tiga Kondisi Banjir yang Mengancam Ibu Kota Negara
- Banjir Kalimantan, BNPB : Mutlak Restorasi Lingkungan
Sebagai gambaran, kata Arie, pada periode 2001 sampai 2019, deforestasi di Kalbar sekitar 1,187 juta hektare (ha). Namun, Arie tak memiliki data terkait deforestasi khusus di Kabupaten Sintang.
Pada 2019-2020, lanjut Arie, penggundulan hutan di Kalbar mencapai 16,38 ribu ha. Ini adalah angka tertinggi dibandingkan seluruh provinsi di Indonesia. Artinya, deforestasi di Kalbar juga terjadi di bawah rezim pemerintahan Jokowi.
Menurut Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar, Nicodemus Ale, mengatakan, Jokowi harus melakukan tindakan konkret untuk mencegah banjir besar kembali melanda Kabupaten Sintang. Tindakan yang paling utama bukanlah reboisasi, tapi melakukan perbaikan tata ruang.
Nico menjelaskan, luas daratan Kalbar adalah 14,7 juta hektare (ha). Sejatinya, luas daratan itu telah dibagi peruntukannya. Seluas 6,4 juta ha untuk kawasan produksi (tambang, sawit, HTI, dll); dan sisanya 8,3 juta ha untuk kawasan non produksi.
Namun kenyataannya, luas kawasan produksi telah melonjak menjadi 12 juta ha lebih. "Indikatornya adalah luas izin alih fungsi lahan untuk industri telah mendekati angka 13 juta ha," kata dia.
Lonjakan kawasan produksi itu salah satunya disumbang oleh perkebunan sawit. Nico bilang, peruntukkan perkebunan sawit sebenarnya hanya 1,5 juta ha, tapi kini nyatanya lahan sawit mencapai 4,9 juta ha.
"Artinya 100 persen lebih terjadi kesalahan. Oke perencanaan benar, tapi dalam implementasi perencanaan itu gak benar," kata Nico.
Ia mengatakan, Jokowi harus mengembalikan tata ruang sebagaimana peruntukannya.
Tindakan konkret kedua yang harus dilakukan Jokowi, menurut Nico, adalah melakukan revisi perizinan terkait investasi skala besar di Kalbar. Sebab, praktik industri skala besar berbasis hutan dan lahan ini lah yang menjadi penyebab kerusakan lingkungan.
Walhi Kalbar menemukan hal itu di lapangan. Nico berujar, terdapat perusahaan yang mendapatkan izin konsesi hingga ke area yang berstatus kawasan hutan.
Ada juga, kata dia, perkebunan sawit yang menanam sampai ke bibir sungai. Padahal aturannya, batas maksimal perkebunan itu adalah 500 meter dari bibir sungai. "Hal itu ditemukan di tiga daerah aliran sungai (DAS) yang bermuara di Sintang. Yakni, DAS Kapuas, DAS Melawi, dan DAS Ketungau," ungkap Nico.
Adapun,Jokowi tak menyinggung soal tata ruang dan izin konsesi di Kalbar. Jokowi hanya mengatakan, kerusakan daerah tangkapan air di hulu sungai Kapuas memang harus dihentikan dan segera diperbaiki.
Jokowi menyebut, perbaikan di daerah tangkapan hujan akan mulai dilakukan pada tahun depan. Pemerintah akan membangun persemaian dan juga melakukan penghijauan kembali di daerah hulu dan daerah tangkapan hujan. "Itu memang harus perbaiki karena memang kerusakannya ada di situ," kata dia.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan merehabilitasi hutan seluas 123 ribu hektare di Kabupaten Sintang, mulai tahun 2022. Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai (PEPDAS) KLHK, Saparis Soedarjanto, mengatakan,123 ribu ha area yang ditargetkan itu kini berupa lahan pertanian, rawa dan tanah terbuka.
Sementara, area hutan yang kini digunakan untuk perkebunan dan pertambangan tidak jadi target sasaran rehabilitasi karena di luar kewenangannya. Saparis berujar, upaya rehabilitasi lahan seluas 123 ribu ha itu tak bisa memberikan dampak instan.
Artinya, rehabilitasi tak bisa mencegah banjir di Sintang pada tahun depan. "Rehabilitasi itu kan butuh waktu 4 sampai 5 tahun untuk jadi bagus. Efeknya baru muncul setelah 5 tahun," kata Saparis kepada Republika.