REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Vaksin COVID-19 Pfizer Inc dan BioNTech SE ditemukan menghasilkan respons kekebalan atau imunitas terkuat di antara empat vaksin yang diuji dalam sebuah penelitian. Studi menemukan orang yang mendapatkan vaksin Sinopharm kemungkinan sangat rentan terhadap terobosan infeksi virus corona.
Tingkat antibodi pelindung terhadap SARS-CoV-2 sangat bervariasi di masing-masing empat kelompok vaksin. Konsentrasi antibodi “relatif rendah” dirangsang oleh vaksin Sinopharm dan Sputnik V. Lalu tingkat menengah oleh vaksin AstraZeneca Plc, dan nilai tertinggi untuk vaksin Pfizer-BioNTech.
Hasil itu diungkap sebuah studi di jurnal Cell Host and Microbe. Alasan perbedaan respons imun antara jenis vaksin adalah karena subjek penelitian intensif.
Hal itu terdiri atas faktor-faktor seperti jumlah bahan aktif dalam setiap dosis dan interval antara mendapatkan suntikan pertama dan kedua. Hasil itu diungkap oleh Penulis dari Stanford University, Onom Foundation dan National Center for Zoonotic Diseases di Ulaanbaatar dalam makalah yang diterbitkan, baru-baru ini.
“Perbandingan unik dari empat vaksin berbeda (Pfizer, AZ, Sputnik, Sinopharm) untuk respons imun yang diinduksinya, dan di semua varian utama, menunjukkan perbedaan besar,” cicit akun Twitter Eric Topol, dilansir dari Fortune, Rabu (17/11).
Penelitian dilakukan pada bulan Juli di antara 196 orang yang diimunisasi lengkap di Mongolia. Ada empat vaksin yang digunakan di sana. Hasilnya menunjukkan penerima Sinopharm yaknj 89,2 persen orang dewasa dan sisanya yang diberi vaksin Sputnik V atau AstraZeneca, rentan terhadap infeksi terobosan.
Suntikan booster
Penulis studi mengatakan, Intervensi kesehatan masyarakat, seperti dosis vaksin penguat, berpotensi diberikan dengan jenis vaksin yang lebih kuat. Kemungkinan diperlukan untuk lebih mengendalikan pandemi di Mongolia maupun seluruh dunia.
“Studi ini tidak memberikan perincian tentang rejimen vaksinasi yang digunakan, termasuk interval antara dosis, respons antibodi terhadap vaksin AstraZeneca, atau mempelajari respons imun seluler,” kata Sam Fazeli, analis Bloomberg Intelligence.
Mongolia mengalami gelombang infeksi virus corona musim panas, sebagian besar karena varian alfa, menurut para peneliti. Tingkat antibodi yang tinggi terlihat pada semua kelompok vaksin setelah terkena infeksi terobosan.
“Menghadapi krisis kesehatan masyarakat dengan meningkatnya infeksi SARS-CoV-2 dan terbatasnya pasokan atau distribusi vaksin yang paling efektif, vaksinasi yang meluas dengan efektivitas vaksin lebih rendah tetap dapat mengurangi infeksi, rawat inap, dan kematian,” kata para penulis.