REPUBLIKA.CO.ID, KOPENHAGEN -- Timnas Denmark dikabarkan bakal memakai pesan-pesan untuk mendukung hak asasi manusia pada jersey pelatihan mereka selama Piala Dunia 2022 Qatar musim dingin.
Langkah itu dilakukan di tengah kecaman lanjutan atas keputusan Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) untuk memberikan hak menjadi tuan rumah bagi Qatar, yang dituduh oleh Amnesty gagal menerapkan undang-undang bagi hak pekerja migran.
Federasi Sepak Bola Denmark (DBU) mengatakan, membatasi jumlah perjalanan ke Qatar oleh staf dan pemain menjelang turnamen, yang dimulai pada November 2022.
Melalui direktur pelaksana DBU, Jacob Jensen me jelaskan pihaknya telah lama sangat kritis terhadap Piala Dunia di Qatar, tetapi sekarang mereka mengintensifkan upaya dan dialog kritis lebih lanjut.
"Untuk itu kami memanfaatkan fakta bahwa kami memenuhi syarat untuk bekerja, untuk lebih banyak perubahan di negara ini," kata Jacob Jensen dilansir Sky Sports, Kamis (18/11).
Lebih lanjut, Jacob Jensen menambahkan akan terus melakukan uji tuntas atas pilihan hotel dan layanan lainnya di Qatar untuk memastikan hak-hak pekerja dihormati.
Pengumuman Federasi Sepak Bola Denmark mengikuti komentar pekan lalu dari Conor Coady, bek Inggris, yang mengatakan dia dan rekan satu timnya akan berbicara tentang bagaimana menyoroti masalah di Qatar setelah mereka lolos ke Piala Dunia 2022.
Denmark sendiri sudah lebih dahulu memastikan satu tempat di putaran final Piala Dunia 2022 setelah berhasil lolos sebagai pemuncak Grup F Zona Eropa.
Untuk diketahui, kampanye tersebut demi mendorong perubahan dalam perlakuan Qatar terhadap pekerja migran, yang sudah menjadi sorotan sejak negara itu dianugerahi hak untuk menjadi tuan rumah putaran final 2022 pada tahun 2010.
Undang-undang telah disahkan untuk menangani sistem 'kafala', yang mengikat pekerja asing dengan majikan mereka, membatasi kemampuan mereka untuk berganti pekerjaan dan mencegah banyak orang meninggalkan negara itu tanpa izin majikan mereka.
Akan tetapi, laporan 'Qatar Reality Check 2021' yang baru dirilis Amnesty menemukan bahwa itu adalah trik bisnis seperti biasa dalam banyak hal.
Secara hukum, sebagian besar pekerja migran tidak lagi memerlukan 'surat keterangan tidak keberatan' (NOC) dari majikan yang mengizinkan mereka meninggalkan negara atau berganti pekerjaan tanpa persetujuan majikan.
Namun, Amnesty mengatakan dalam prakteknya proses NOC 'de facto' telah muncul, sehingga sulit atau dalam beberapa kasus tidak mungkin bagi seorang pekerja migran untuk memutuskan hubungan dengan majikan.
Qatar membantah
Di sisi lain, Pemerintah Qatar mengakui bahwa sistem tenaga kerja mereka masih harus dibenahi. Namun, mereka membantah tuduhan eksploitasi ribuan pekerja migran untuk persiapan Piala Dunia 2022 sebagaimana tertuang dalam laporan Amnesty International.
Pernyataan Badan Komunikasi Pemerintah Qatar membantah klaim Amnesty International bahwa reformasi tenaga kerja di negaranya tak menciptakan perubahan berarti bagi ribuan pekerja migran di negara Timur Tengah itu.
"Amnesty gagal mendokumentasikan satu cerita pun di antara 242.870 pekerja yang bisa beralih pekerjaan sejak pembatasan diangkat pada September 2020 maupun terkait manfaat yang didapatkan lebih dari 400 ribu pekerja yang kini mendapatkan upah minum baru berdasar kenaikan gaji serta berbagai insentif finansial lainnya," demikian pernyataan tersebut dilansir Reuters.
"Qatar tak pernah mengelak dari fakta bahwa sistem tenaga kerja kami masih harus dibenahi. Pemerintah berkomitmen untuk mengadakan kolaborasi aktif dan konstruktif dengan rekanan internasional serta kelompok kritik untuk terus meningkatkan standard bagi pekerja migran di Qatar," tulis pernyataan yang sama.