REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gangguan rantai pasok global perlu diwaspadai karena menyebabkan inflasi tinggi di sejumlah negara. Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi Dan Moneter Bank Indonesia, IGP Wira Kusuma menyampaikan fenomena yang muncul di kuartal III 2021 tersebut terjadi karena permintaan pasokan yang meningkat tidak diiringi oleh supply yang memadai.
"Ada perbedaan pendapat dan pandangan dari ekonom dan institusi khususnya di Amerika Serikat tentang inflasi ini, apakah bersifat permanen atau temporer," katanya dalam Pelatihan Wartawan BI di Surabaya, Sabtu (20/11).
Ketidakstabilan dan ketidakpastian tersebut dinilai perlu disikapi dengan waspada namun tidak reaktif. Menurutnya itu yang terjadi di AS yang tidak langsung merespons kenaikan inflasi dengan menaikan Fed funds rate (FFR) atau suku bunga acuannya.
Jika dianggap permanen maka FFR bisa meningkat lebih cepat dari perkiraan sebelumnya pada 2023. Namun, sebagian besar menganggap ini sebagai fenomena sementara. Sambil sejumlah negara berupaya untuk meningkatkan kapasitas produksinya agar rantai pasok global kembali lancar.
Inflasi AS per September 2021 telah mencapai lima persen. Begitu pula dengan negara-negara Eropa, Inggris, Kanada, hingga Jepang juga mengalami kenaikan inflasi.
Wira mengatakan, gangguan rantai pasok ini terlihat juga dari kontraksi indikator PMI Suppliers Delivery Times Index. Sejak awal 2021, indeks tersebut terus turun. Artinya, ada delay delivery karena produksi bahan baku yang terhambat.
Dari indikator penumpukan kapal di pelabuhan dan pembukaan lapangan kerja juga terjadi kenaikan drastis terutama di bulan Oktober. Selain itu, indikator biaya pengiriman juga terus meningkat meski sudah ada tren melandai menuju turun di bulan November 2021.
Selain itu, perkembangan harga energi yang terus naik, harga output dan input yang juga mengalami kenaikan. Wira mengatakan ketidakpastian global artinya belum mereda. Indonesia perlu mewaspadai segala perkembangan baru tersebut.