Pengamat: Mentalitas Miskin Buat Bansos Sering Salah Sasaran
Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Fernan Rahadi
Ilustrasi Bansos | Foto: Republika/Mardiah
REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kepala Pusat Kajian Pembangunan Sosial UGM, Hempri Suyatna menilai, mentalitas miskin masyarakat membuat bantuan sosial sering salah sasaran. Bisa dilihat dari fenomena ASN-ASN yang menerima berbagai bantuan sosial yang bukan haknya.
"Jika mereka sadar ini bukan hak mereka seharusnya segera dikembalikan. Bentuk-bentuk mentalitas miskin ini yang harus dibenahi agar program bansos juga tepat sasaran," kata Hempri, Senin (22/11).
Ia menerangkan, bantuan sosial idealnya diberi untuk mengatasi berbagai risiko sosial dari rehabilitasi, perlindungan, jaminan, pemberdayaan dan penanggulangan kemiskinan. Jadi, diperuntukkan untuk masyarakat rentan atau terdampak bencana.
Persoalan penyaluran yang salah sasaran membuat kebijakan bantuan sosial menjadi kurang efektif. Ia berpendapat, memang sudah banyak kebijakan bansos dilakukan, tapi secara umum kurang efektif tidak cuma karena masih banyak salah sasaran.
Hempri melihat, program-program bansos ini cenderung hanya jadi semacam pemadam kebakaran dan parsial. Selain persoalan mentalitas, ia merasa, masih terdapat sejumlah faktor yang mengakibatkan penyaluran bantuan sosial salah sasaran.
Pertama, verifikasi dan validasi data kemiskinan atau data terpadu kesejahteraan sosial yang tidak berjalan dengan baik. Sehingga, banyak warga mampu yang masih terdata. Pembaruan data di tingkat daerah atau desa tidak berjalan dengan baik. "Pemerintah kabupaten seharusnya lebih update terkait perkembangan data-data kemiskinan yang ada di wilayah masing-masing," ujar Hempri.
Selain itu, konflik regulasi dan minim sinkronisasi antara pemangku kepentingan, yaitu Kemenko Perekonomian, Kementerian Desa, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Pemprov, Pemkab/Pemkot dalam penyaluran.
Integrasi antara program bansos satu dengan program yang lain kurang efektif. Dampak banyaknya pintu pendataan muncul pemburu rente dalam penyaluran bansos atau politisasi bansos. Ia berharap, ada kesadaran ASN-ASN penerima bansos. "Pemerintah perlu memberikan bukan sekadar anjuran tapi kewajiban bagi para ASN. Dalam perspektif agama pun, menerima sesuatu yang bukan haknya juga tidak baik," kata Hempri.
Ia berpendapat, ada sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai polemik yang kerap muncul dalam pengelolaan dan penyaluran bansos. Salah satunya dengan melakukan perbaikan manajemen data dan optimalisasi satu data nasional.
Selain itu, harmonisasi dan sinkronisasi regulasi atau integrasi program-program bansos. Kemudian, perbaikan tata kelola program dan sistem evaluasi partisipasi, pengawasan bersama masyarakat, serta perbaikan mentalitas miskin masyarakat.