REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING – Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengungkit insiden penembakan kapal negaranya oleh kapal penjaga pantai di Laut China Selatan (LCS) China pada KTT ASEAN-China, Senin (22/11). Dia mengaku membenci insiden tersebut.
“Kami membenci peristiwa baru-baru ini. Ini tidak berbicara dengan baik tentang hubungan antara negara-negara kita,” kata Duterte dalam pidatonya. Dia menekankan aturan hukum adalah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Awal pekan lalu, dua kapal pemasok makanan untuk tentara Filipina ditembak menggunakan meriam air oleh tiga kapal penjaga pantai China di wilayah Ren’ai Jiao di LCS. Filipina menyebut wilayah itu dengan nama Kulumpol ng Ayungin, yang merupakan atol di Kepulauan Spartly di LCS.
Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin Jr. pada Selasa (16/11) lalu mengungkapkan tidak ada yang terluka dalam insiden tersebut. Namun dua kapal pemasok makanan untuk tentara negaranya itu akhirnya membatalkan misinya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian menyebut penembakan terhadap dua kapal Filipina itu sudah tepat. “Dua kapal Filipina melewati perairan dekat Ren’ai Jiao di wilayah China tanpa izin. Lalu kapal penjaga pantai China menjalankan tugasnya sesuai dengan hukum untuk menjaga kedaulatan China serta tata tertib di lautan,” ujarnya pada Kamis (18/11).
Dia mengklaim situasi di dekat Ren’ai Jiao tetap damai. “China dan Filipina sedang menegosiasikan masalah tersebut,” kata Zhao.
LCS merupakan wilayah perairan strategis yang berbatasan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Vietnam, Malaysia, dan Singapura. China mengklaim hampir seluruh wilayah LCS sebagai bagian dari teritorialnya. Namun hal itu ditentang oleh negara-negara ASEAN. Sebab klaim Beijing bersinggungan, bahkan menabrak zona ekonomi eksklusif negara-negara terkait. Aksi saling klaim sempat menimbulkan ketegangan dan berpotensi memicu konflik.