REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menginstruksikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) untuk segera mengambil langkah-langkah strategis mempercepat penuntasan perkara dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu. Burhanuddin menegaskan, perlu ada terobosan progresif untuk menuntaskan perkara-perkara tersebut.
Menanggapi pernyataan tersebut, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai pernyataan itu belum membawa kemajuan sama sekali. "Hanya bicara, tidak ada tindakan nyata. Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu, termasuk pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya, pemerkosaan dan kejahatan kriminal seksual lainnya, yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden terdahulu Suharto di antara tahun 1966 hingga dan pada awal masa reformasi antara 1998 hingga mau memasuki tahun 2022, belum ditangani oleh negara," tegasnya kepada Republika.co.id, Senin (22/11).
Padahal, sambungnya, pemerintahan yang dipimpin Presiden Joko Widodo sejak Oktober 2014, dalam kampanyenya selalu berjanji untuk meningkatkan penghormatan terhadap HAM. Termasuk untuk menangani semua pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui sistem peradilan guna mengakhiri impunitas. Namun, janji itu pun masih belum dipenuhi.
Faktanya, meskipun ada desakan dari para korban, para mahasiswa, dan masyarakat sipil untuk mengadili para teduga pelaku, Presiden Joko Widodo cenderung tidak peduli. Bahkan tuntutan keadilan hukum di negara hukum berupa penuntutan pelaku di meja hijau belum juga terlihat sama sekali ada langkah Jaksa Agung yang sedari awal justru semakin memperlihatkan dependensi politiknya pada Presiden dan DPR. Bukan pada independensinya sebagai otoritas tertinggi hukum di bidang penyidikan dan penuntutan pelanggaran HAM berat.
"Sementara pemerintah malah mengumumkan bahwa pemerintah akan membentuk mekanisme non-yudisial untuk menyelesaikan semua pelanggaran HAM masa lalu. Cara ini mustahil akan penuhi rasa keadilan korban, bahkan cara yg membawa klaim keadilan restoratif ini justru terkesan malah menjadi cara pelaku berlindung dengan meminta pemerintah mencuci piring kotor pelaku," tegasnya lagi.
Sementara Wakil Ketua Komnas HAM RI Ketua Tim Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat, Amiruddin menyampaikan, sampai saat ini, Komnas HAM telah selesai menyelidiki 12 peristiwa yang diduga terjadi pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa tersebut sesuai pasal 18 dan pasal 20 (1) UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Seluruh berkas hasil penyelidikan itu telah diserahkan ke Jaksa Agung. Bahkan, berkas-berkas itu telah diserahkan ke Jaksa Agung, ada yang telah berusia 15 tahun, dan juga ada hampir dua tahun yaitu tentang Peristiwa Paniai, Papua.
"Atas langkah terobosan yang hendak diambil oleh Jaksa Agung itu, saya sebagai Ketua Tim Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang berat ingin menyampaikan, menghormati dan menyambut baik langkah terobosan yang hendak diambil Jaksa Agung, demi kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak. Terutama kepada korban dan keluarga korban. Mereka sudah terlalu lama menunggu, " tegasnya.
Langkah terobosan, lanjut Amir, perlu berbentuk langkah hukum, yaitu dimulainya penyidikan oleh Jaksa Agung atas beberapa peristiwa sesuai pasal 21 dan 22 UU No 26 Tahun 2000. Untuk memulai penyidikan, lanjutnya, Jaksa Agung dapat memilih peristiwa yang mana saja dari 12 berkas hasil penyelidikan Komnas HAM yang telah diserahkan ke Jaksa Agung.
Karena, sesuai UU No 26 Tahun 2000, selain langkah membentuk Tim Penyidik dan mulai melakukan penyidikan, bukanlah terobosan saat ini. Apalagi menyodorkan langkah-langkah pengkajian yang sekedar bermain wacana. Pengkajian akan berguna dalam rangka dimulainya penyidikan.
"Demi kepastian hukum dan pemulihan hak-hak korban, pemerintah perlu dan mendesak kiranya untuk mengeluarkan kebijakan baru sebagai dasar hukum untuk pemenuhan hak-hak korban. Jangan hak-hak korban terus diabaikan, akibat proses hukum yang buntu," tegasnya.