REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menyebut kenaikan suku bunga acuan negara maju memicu aliran dana keluar dari negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini sudah pernah terjadi pada 2013 lalu saat Amerika Serikat mengambil langkah pengetatan dan membuat pasar keuangan Indonesia mengalami taper tantrum.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan negara maju seperti Amerika Serikat dipaksa melakukan pengetatan moneter akibat capital outflow dan tekanan nilai tukar."Ini juga harus diwaspadai bagi Indonesia karena kalau terjadi di negara maju mereka akan dipaksa melakukan pengetatan moneter yang berakibat pada capital outflow dan tekanan ke nilai tukar," ujarnya saat acara webinar Kongres Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia (AAIPI) 2021, Selasa (23/11).
Menurutnya saat ini Indonesia berada jalur pemulihan atau baru mulai bangkit selepas hantaman varian delta pada Juli 2021. Adapun mobilitas mulai meningkat mendorong peningkatan konsumsi masyarakat serta produksi yang ditandai dengan lonjakan pada PMI manufaktur Indonesia.
"Recovery dan rebound sudah terjadi di Oktober dan November," ucapnya.
Hanya saja, Sri Mulyani menyebut, jika gejolak yang ditimbulkan oleh negara maju tersebut begitu besar, pemulihan ekonomi Indonesia akan terganggu. Pemerintah masih membutuhkan banyak dana yang cuma mampu dipenuhi oleh utang.
Situasi ini yang menurut Sri Mulyani sebagai konsekuensi atas ketidaksiapan pemulihan ekonomi. "Pemulihan yang terjadi namun tidak tanpa konsekuensi. Pemulihan cepat yang tidak diikuti supply akan menghasilkan kenaikan harga-harga, ini terjadi di AS," ucapnya.