REPUBLIKA.CO.ID, Ajat Sudrajat (36 tahun), pria asal Kampung Babakan Rengas, Kabupaten Bekasi sejak 2012, memantapkan diri untuk mengabdi menjadi pendidik di kediamannya dan di Karawang. Setelah sebelumnya sempat mencoba peruntungan bekerja di pabrik, tapi dia kini fokus menjadi guru honorer di SMK PGRI 3 Karawang dan salah satu Mts di daerah kediamannya.
Meski upah sebagai guru honorer sebesar Rp 650 ribu per bulan tidak mencukupi kebutuhannya, tapi dia merasa tidak kekurangan. Sebab, Ajat banyak melakukan aktivitas lainnya atau nyambi berbagai profesi pekerjaan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.
"Kalau nggak cukup, ya nggak cukup (upah). Tapi itu profesi kita. Saya yakin kita ikhlas ridho pasti ada jalan. Saya juga berjualan online, kerajinan, nge mc, bahkan menyanyi di acara-acara hingga bekerja sebagai pemain biola," ujarnya saat dihubungi, Selasa (23/11).
Ketekunan dan usaha yang dijalaninya pun kini mulai terlihat. Saat ini, dia baru menyelesaikan pendidikan S2 di sebuah lembaga pendidikan di wilayah Bekasi. Pendidikan S1 yang dia jalani dulu di Sekolah Tinggi Teknik Mandala Bandung.
"Saya baru beres S2 dengan honor begitu saya bisa menyelesaikan S2 sambil nyambi," ujarnya.
Pria yang pernah mendapatkan penghargaan sebagai guru inspiratif dari lembaga di Jawa Barat ini mengatakan, prinsip yang dijalani dalam kehidupan yaitu terus berjuang dan harus keras terhadap diri sendiri. "Hidup itu berjuang, harus keras terhadap kita kalau keras hasilnya akan lembut," katanya.
Aktivitas rutin, saat ini, yang dia kerjakan tiap hari yaitu berangkat mengajar di SMK 3 PGRI Karawang dan salah satu Mts di Kabupaten Bekasi. Ajat mengaku, tiap hari harus menyeberang Sungai Citarum menggunakan perahu kayu yang dibuat swadaya oleh masyarakat setempat. Biaya pergi dan pulang yang dikeluarkan untuk ongkos naik perahu total sebesar Rp 12 ribu.
"Sejak 2012 mengajar, saya honorer tidak hanya satu tempat. Saya di dua sekolah satu di SMK PGRI 3 Karawang yang harus menyeberangi Sungai Citarum, kondisinya itu berat sekali. Satu lagi di Mts," ungkapnya.
Ajat memilih melewati Sungai Citarum sebab jika harus melewati jalur lain membutuhkan waktu yang lebih lama mencapai 2 jam. Terlebih rumahnya berjarak 500 meter dengan Sungai Citarum. Rumah yang dia tinggali pun sempat terkena banjir besar pada Februari lalu yang menjadi perhatian pemerintah pusat.
Dia mengaku, menjalankan profesi guru honorer dilandasi niat mencari keberkahan. Tidak hanya itu, doa dari anak-anak didiknya menjadi penyemangat tiap kali mengajar.
"Ketika saya menjadi pendidik, ketika kita butuh pas ada. Intinya pas berkah. Kedua anak selalu mendoakan bagi saya kesenangan," katanya.
Beberapa kali dia sempat mengalami duka saat menyeberang Sungai Citarum untuk mengajar. "Pernah putus tambang tali perahu, saya lahaula selamat kalau ikhlas ada berkah," katanya.
Ajat melanjutkan, sejak pandemi Covid-19 telah mengubah lahan bekas kandang jangkrik milik uwa-nya untuk digunakan sebagai tempat belajar mengajar siswa Mts dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.
Dia melakukan, hal tersebut sebab kondisi bangunan sekolah Mts mengalami kerusakan dan masih membutuhkan perbaikan. Kini para siswa sebagian sudah kembali belajar di sekolah, lahan bekas kandang jangkrik yang digunakannya pun saat ini dimanfaatkan untuk kegiatan les di akhir pekan. "Kandang jangkrik milik uwa buat mengajar, saya pakai seadanya," ungkapnya.